Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono memandang, resolusi tersebut sebenarnya tidak memiliki dampak secara jangka pendek bagi industri kelapa sawit di Indonesia. Namun jika dilihat secara jangka panjang cukup berpengaruh sebab hal itu sama saja memberikan cap buruk bagi produk kelapa sawit Indonesia di mata dunia.
"Jadi secara langsung dan jangka pendek belum ada karena ini sampai 2020. Namun ini nuansanya politis ada perang kepentingan dagang, proteksionisme. Karena tindakan diskriminasi menurut saya bisa berdampak jangka panjang. Terjadi stigmatisasi bahwa kelapa sawit seolah-olah tidak baik," tuturnya saat dihubungi detikFinance, Minggu (16/4/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Eropanya besar, tapi negaranya kan banyak, itu total. Negara impor yang dalam jumlay besar itu seperti Belanda, Italia, Jerman dan Spanyol. Sisanya kecil-kecil," imbuhnya.
Joko juga mengatakan, negara yang paling besar menyerap produk kelapa sawit Indonesia adalah India dengan rata-rata per tahunnya sebesar 5,7 juta ton. Kemudian China 3 juta ton lebih dan Pakistan sekitar 2 juta juta ton.
Kendati tidak memiliki dampak yang begitu besar, Joko meminta pemerintah tetap memeprjuangkan nasib kelapa sawit Indonesia di Eropa. Sebab hal itu menyangkut citra dari salah satu komoditas unggulan RI tersebut.
"Ya cuma kan kalau bisa Eropa jadi friendly bagus juga kan. Kita ingin ini diperjuangkan," pungkasnya. (dna/dna)











































