Saat menerima pinangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pertengahan tahun lalu untuk menjadi Menteri Keuangan, Sri Mulyani cukup keras soal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Baginya penting menjaga kredibilitas APBN ketika ekonomi global gonjang ganjing dan pemerintahan yang agresif dalam belanja.
Maka dari itu, dalam penyusunan APBN 2017, ia menempatkan angka-angka yang realistis. Angka yang seandainya dibandingkan ritme fiskal dua tahun terakhir, pastinya lebih rendah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sampai dengan 30 April 2017 setoran pajak sebenarnya cukup baik. Di mana realisasinya mencapai Rp 343,7 triliun. Ada kenaikan 18,19% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy), yang sebesar Rp 290,8 triliun. Akan tetapi, Sri Mulyani tetap pesimistis, pertumbuhan pajak diproyeksi hanya mencapai 13%.
Apa yang salah dengan hitungan Sri Mulyani?
Pengamat Pajak dari CITA, Yustinus Prastowo, menilai Sri Mulyani tak mau ambil risiko besar. Lebih baik merevisi target pajak sekarang, ketimbang harus pusing di akhir tahun untuk mengejar penerimaan atau bahkan menambah utang.
"Ketika pajak dipaksa tumbuh untuk mengejar belanja, maka harus bisa dipastikan defisit aman dan pembiayaan tidak membengkak," ujarnya kepada detikFinance, Jumat (2/6/2017).
Yustinus menjelaskan, setoran yang masuk di awal tahun masih terpengaruh oleh program pengampunan pajak atau tax amnesty yang masih tersisa selama tiga bulan yakni Januari-Maret 2017. Sehingga dibandingkan tahun sebelumnya, ada pertumbuhan yang cukup tinggi.
Posisi pajak yang murni justru akan terlihat ketika periode Mei hingga akhir tahun. "Jadi baru bisa dikatakan murni tumbuh itu dari Mei, baru ketahuan dan bisa dikatakan tumbuh dari 2016," jelasnya.
Kondisi ekonomi memang dimungkinkan lebih baik dari tahun lalu. Bahkan proyeksi terbaru pemerintah yang akan diajukan dalam RAPBN Perubahan 2017 adalah 5,3%. Namun bukan berarti serta merta penerimaan pajak bisa langsung melonjak.
Ada sedikit masalah yang terjadi, yakni penurunan basis pajak dibandingkan tahun lalu. Salah satunya adalah efek tidak optimalnya program tax amnesty dan adanya kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). "Ada penurunan basis pajak yang akhirnya tidak mampu mendorong penerimaan," tegas Yustinus.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Chief Economist Mandiri Sekuritas, Leo P. Rinaldy. Pemerintah butuh memastikan penerimaan pajak sampai dengan akhir tahun demi mengantisipasi sentimen negatif bagi investor.
Reaksi positif sudah muncul ketika pemerintah menutup akhir tahun anggaran 2016 dengan baik. Risiko fiskal yang dikhawatirkan diatasi, salah satunya dengan kebijakan pemangkasan belanja Kementerian Lembaga (KL) dan transfer ke daerah.
"Membuat penerimaan pajak menjadi lebih realisits itu sangat penting bagi investor," kata Leo. (mkj/wdl)