Darmin Masih Cari Solusi KEK Arun Lhokseumawe

Darmin Masih Cari Solusi KEK Arun Lhokseumawe

Hendra Kusuma - detikFinance
Jumat, 02 Jun 2017 16:13 WIB
Foto: Muhammad Idris
Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution telah melakukan pembahasan terkait dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe.

Pembahasan dilakukan bersama konsorsium KEK Arun Lhokseumawe di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (2/6/2017).

Pada pembahasan tersebut menjadi ajang laporan bagi konsorsium kepada pemerintah mengenai percepatan pembangunan KEK Arun Lhokseumawe.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya belum bisa bicara banyak. Tapi BUMN-nya udah siap, mau jalan. Itu saja," kata Sekretaris Dewan Nasional KEK, Enoh Suharto Pranoto.

Persoalan percepatan pembangunan KEK Arun Lhokseumawe dikarenakan adanya penolakan terhadap konsep pengelolaan oleh konsorsium BUMN, yakni PT Pertamina, PT PIM, PT Pelindo I, dan PDPA.

Penolakan dilakukan karena dianggap merugikan Aceh sebagai daerah yang memiliki kekhususan sesuai Undang-Undang.

"Saya agak susah juga menjawabnya mas ya. Sebetulnya enggak gitu sih. Ini kan kalau bicara bisnis kita ingin percepatan pengelolaan KEK agar bisa dirasakan cepat oleh masyarakat luas. Memang itu ada perbedaan. Ada yang usul dari ada yang dari badan usaha. Misalnya kalau provinsi mengusulkan, nanti untuk penetapan badan usahanya itu tidak bisa serta merta," jelasnya.

Penetapan konsorsium telah ditetapkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 17 Februari 2017.

"Jadi ini hanya mempercepat. Kepemimpinan baru sih udah ada. Udah ada penyelesaian," ungkapnya.

Enoh mengungkapkan, pengembangan pembangunan KEK yang telah ditetapkan pemerintah berjalan bervariasi, seperti KEK Tanjung Api-Api yang terdapat perusahaan gabungan dari Rusia, Indonesia dan Jepang.

"Itu hampir 10 miliar Euro, dia akan bangun refinery di sana lalu tangki timbun, tangki oil dan petrokimia. Lalu Indorama dari India. Itu juga regasifikasi di Tanjung Api-Api. Kalau Indorama mungkin Rp 11 triliun sampai Rp 12 triliun ya," tutupnya.

(mkj/mkj)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads