"Hasil temuan KEIN menunjukkan adanya deviasi atau perbedaan harga yang sangat tinggi antara harga di pasar dengan harga acuan," ujar Arif dalam keterangan tertulis, Rabu (7/6/2017).
Arif menyebut perbedaan harga yang sangat tinggi itu terutama pada komoditas beras, gula pasir, dan daging sapi. Arif mengacu pada Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) yang menunjukkan tiga komoditas utama tersebut harganya jauh lebih mahal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data PIHPS untuk periode September 2016-2 Juni 2017, rata-rata harga beras medium masih 17,2 persen di atas harga acuan. Sedangkan data Kementerian Perdagangan mengungkap selisih harga di pasar dengan harga acuan mencapai 12,08 persen.
Untuk harga gula pasir, rata-rata perbedaannya versi PIHPS mencapai 10,5 persen. Sedangkan pada data Kementerian Perdagangan mencapai 12,7 persen. Sementara untuk harga daging beku, realisasi harga di pasar mencapai 47,4 persen. Data versi Kementerian Perdagangan, perbedaannya hingga 43,1 persen.
Arif mensinyalir, kondisi di luar harapan tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya rantai distribusi yang panjang dari produsen hingga ke konsumen akhir, sehingga terjadi ekonomi berbiaya tinggi.
"Seharusnya hal ini juga menjadi perhatian Kementerian Perdagangan saat menentukan kebijakan harga acuan," katanya.
Arif juga menyayangkan adanya data kebutuhan pokok yang tidak sinkron antara kebutuhan dan pasokan.
"Hal itu terutama terjadi pada komoditas beras dan gula pasir," imbuhnya.
Lebih lanjut Arif menyarankan agar pemerintah ikut memberdayakan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) serta Tim Ketersediaan dan Stabilisasi Harga Barang Kebutuhan Pokok yang berada di bawah Kementerian Perdagangan, dalam pengendalian harga acuan.
"Mereka bisa melakukan monitoring dan evaluasi," lanjutnya.
Selain itu, menurut Arif, yang tak kalah pentingnya adalah terkait dengan sinkronisasi data kebutuhan dan pasokan. Untuk hal ini, dia menyarankan agar dilakukan secara regional, sehingga akurasinya lebih terjaga.
"Pemerintah daerah dapat dilibatkan dalam hal ini," tandasnya.
Sementara itu Ekonom Senior Megawati Institute, Muhammad Islam, menambahkan regulasi yang dibuat oleh Kementerian Perdagangan juga harus lebih rinci dan rigid terkait komoditas yang diatur. Pada komoditas besar misalnya, dia menegaskan bahwa dalam aturan tidak disebutkan jenis beras yang ditetapkan harga acuannya.
Islam juga menyayangkan tidak adanya sistem peringatan dini jika harga sudah menyentuh batas harga acuan yang ditetapkan pemerintah.
"Seharusnya Kementerian Perdagangan memiliki sistem peringatan dini untuk harga di pasar dengan baseline harga acuan," tegasnya.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 27 tahun 2017 yang merupakan revisi dari Permendag Nomor 63 tahun 216 tentang Harga Acuan Pembelian di Petani dan Konsumen. Sejatinya, peraturan ini menjadi acuan para pedagang saat menjual kebutuhan pokok kepada konsumen akhir. (ega/hns)