Menurut Sekjen Peternakan Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf, menjelaskan di zaman Belanda peternakan sapi dikembangkan bersamaan dengan pembukaan perkebunan.
"Sejak zaman Belanda itu sapi dikembangkan dengan baik dan berkumpul di Pulau Jawa. Karena pertanian dan perkebunan-perkebunan dulu juga dikembangkan peternakan sapi, sebagai pakan yang efisien," ujar Rochadi dalam diskusi 'Efektivitas dan Aspek Legal Intervensi Harga Daging' di Hotel Ibis Cawang, Jakarta, Senin (13/6/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, populasi sapi masih terpusat di pulau Jawa.
"Saat ini pun sapi (populasi) masih berpusat di Jawa, saat Sulawesi dan Kalimantan dikembangkan sektor perkebunan dan pertanian di sana, tidak disertai dengan pemindahan peternakan, akhirnya perkebunan dan pertanian di luar Jawa banyak, tapi kosong ternaknya. Di Kalimantan sapinya sangat sedikit," jelas Rochadi.
Dia menambahkan, peternakan sapi berkaitan erat dengan suplai pakan. Di Jawa dengan populasi sapi tertinggi, terdapat keterbatasan lahan sehingga biaya pakan menjadi mahal.
"Ada kesalahan pembangunan di zaman pemerintahan dulu, saat banyak lahan dibuka tidak dibarengi dengan peternakan. Sapi banyak di Jawa, tapi pakan ternaknya banyakan di luar Jawa," tutur Rochadi.
Dia mencontohkan, sebagai gambaran dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, Jawa mendominasi populasi sapi terbanyak yakni 7,5 juta ekor (50,68%). Kemudian disusul Sumatera 2,7 juta ekor (18,38%), Bali dan Nusa Tenggara 2,1 juta ekor (14,18%), Sulawesi 1,8 juta ekor (12,08%), Kalimantan 437,4 ribu ekor (2,95%), dan Maluku Papua sebanyak 258,1 ribu ekor (1,74%). (idr/hns)