Pasca Tax Amnesty, Masih Banyak WNI Simpan Harta di Hong Kong

Pasca Tax Amnesty, Masih Banyak WNI Simpan Harta di Hong Kong

Hendra Kusuma - detikFinance
Selasa, 20 Jun 2017 12:10 WIB
Foto: Hasan Alhabshy
Jakarta - Program pengampunan pajak alias tax amesty telah usai diterapkan pemerintah sejak Maret 2017. Hasilnya membuktikan bahwa banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang lebih senang menyimpan hartanya di luar negeri ketimbang di tanah air.

Program pengampunan pajak ini diikuti oleh 727.363 wajib pajak dengan nilai aset mencapai Rp 4.491 triliun. Harta yang sudah dideklarasikan dari beberapa negara terbesar, salah satunya Hong Kong yang terdapat sekitar Rp 15,65 triliun dan yang berhasil dibawa pulang Rp 12,43 triliun per 25 September 2016.

Meski sudah tercatat pada data tax amnesty, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Hestu Yoga Saksama mengatakan, masih terdapat potensi penerimaan pajak WNI yang berada di Hong Kong.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam mengejar potensi pajak, Ditjen Pajak juga telah melakukan kerja sama dengan Hong Kong secara Bilateral Competent Authority Agreement (BCAA) dalam rangka Automatic Exchange of Information (AEOI).

"Kita bisa memantau WNI kita di Hong Kong, baik yang kemarin sudah diikutkan dalam tax amnesty maupun yang belum diungkap dalam tax amensty," kata Hestu kepada detikFinance, Jakarta, Selasa (20/6/2017).

Hestu menyebutkan, sesuai ketentuan umum perpajakan di Indonesia, wajib pajak (WP) yang merupakan masyarakat Indonesia harus melaporkan harta yang berada di luar negeri, juga harus melaporkan penghasilan yang berasal dari luar negeri serta membayar pajaknya sesuai UU PPh kita atau tax treaty yang ada.

"Jadi terdapat potensi penerimaan pajak yang dapat diperoleh dari skema AEOI," jelasnya.

Tidak hanya di Hong Kong, Ditjen Pajak juga telah membidik potensi-potensi pajak di negara-negara tetangga lainnya seperti Singapura, yang berdasarkan data tax amnesty sebagai negara yang paling banyak menyimpan harta WNI, nilainya sekitar Rp 336,39 triliun.

"Dengan data yang kita peroleh dari AEoI ini, kita bisa mendeteksi dengan lebih baik, praktik-praktik penghindaran dan pengelakan pajak yang dilakukan dengan memanfaatkan skema transfer pricing, treaty abuse, treaty shopping, thin capitalization, CFC dan lainnya," kata dia.

(mkj/mkj)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads