Subsidi dan Utang Membengkak, Pemerintah Harus Hati-hati

Subsidi dan Utang Membengkak, Pemerintah Harus Hati-hati

Maikel Jefriando - detikFinance
Senin, 10 Jul 2017 11:25 WIB
Foto: rengga sancaya
Jakarta - Dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan 2017 atau RAPBN-P 2017, ada sejumlah asumsi perubahan yang diajukan oleh pemerintah diantaranya target pertumbuhan ekonomi yang lebih optimistis dari perkiraan semula, inflasi sedikit mengalami kenaikan dari perkiraan semula, juga defisit fiskal yang diperkirakan lebih lebar.

Defisit diasumsikan melebar jadi 2,92% terhadap produk domestik bruto (PDB), dari target semula 2,4% terhadap PDB. Bila adanya penghematan, maka defisit bisa ditahan pada posisi 2,6% terhadap PDB.

Indikasinya adalah belanja negara yang bakal naik menjadi Rp 2.111,4 triliun, dari target semula sebesar Rp 2.080,5 triliun, sedangkan penerimaan negara diperkirakan turun menjadi Rp 1.714,1triliun dari target semula sebesar Rp 1.750,3 triliun. Kenaikan belanja negara salah satunya disebabkan oleh kenaikan subsidi energi yang diperkirakan naik menjadi Rp 103,1 triliun dari target semula sebesar Rp 77,3 triliun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ekonom Bahana Sekuritas Fakhruk Fulvian proyeksikan defisit di kisaran 2,7% terhadap PDB. Menurutnya, pemerintah cenderung hati-hati dalam mengurangi belanja subsidi karena pemerintah ingin menjaga kestabilan harga, pasalnya setiap penyesuaian harga listrik dan bahan bakar minyak (BBM) terjadi, selalu langsung diikuti dengan kenaikan harga barang-barang lainnya, yang pada akhirnya akan meningkatkan inflasi.

Padahal untuk menjaga kesehatan fiskal yang berkesinambungan serta menjaga kepercayaan pasar terhadap kestabilan ekonomi Indonesia terutama oleh lembaga pemeringkat internasional, pemerintah perlu memperlihatkan konsisten dalam mengurangi belanja subsidi karena bila hal ini tidak dijaga, maka permasalahan risiko fiskal Indonesia yang lama akan terulang kembali.

"Penyesuaian harga BBM akan berdampak positif bagi pasar obligasi karena Hal ini memperlihatkan risiko fiskal Indonesia terjaga, meski melihat harga minyak dunia yang terjadi saat ini, memang tidak diperlukan kenaikan harga BBM subsidi," terang Fakhrul dalam keterangan tertulisanya kepada detikFinance, Senin (10/7/2017).


Fakhruk sarankan pemerintah untuk menaikkan harga BBM subsidi bila harga minyak dunia di atas US$ 50/barel. Ini bertujuan untuk menghindari beban terhadap PT Pertamina persero maupun pemerintah sendiri.

Dalam RAPBN-P yang diajukan kepada DPR, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2-% dari target semula sebesar 5,1%, sedangkan Bahana memperkirakan perekonomian Indonesia bakal mencapai 5,3%. Untuk memberi dampak yang lebih positif terhadap perekonomian, menggenjot belanja untuk infrastruktur pada semester kedua tahun ini sangat diperlukan, sehingga target pertumbuhan ekonomi 5,2% pada tahun ini bukan hal yang mustahil untuk dicapai.

Harga minyak mentah diperkirakan naik menjadi US$ 50/barel, dari perkiraan semula sebesar US$ 45/barel, perkiraan Bahana sejalan dengan pemerintah. Inflasi diperkirakan akan naik menjadi 4,3%, dari target semula sebesar 4%, sedangkan Bahana memperkirakan inflasi akan mencapai 4,4% pada akhir 2017.

Dengan rencana kenaikan defisit fiskal menjadi 2,92% terhadap PDB, Bahana memperkirakan akan ada kebutuhan tambahan penerbitan Surat utang pemerintah sekitar Rp 60 triliun untuk membiayai belanja pemerintah. Kenaikan ini belum menjadi ancaman serius terhadap perekonomian Indonesia karena rasio utang Indonesia masih terjaga di bawah 30% terhadap PDB. (mkj/hns)

Hide Ads