"Saya senang (gabah petani, red) dibeli tinggi, tapi jangan jual mahal. Beli mahal, Alhamdulillah. Tapi, jangan tinggi (keuntungannya mencapai) 200 persen," ujar Amran dalam keterangan tertulis dari Kementan, Selasa (25/7/2017).
Amran menyatakan itu karena hal tersebut mewujudkan disparitas harga yang tinggi serta berdampak buruk bagi pengusaha lain dan masyarakat, termasuk petani selaku produsen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, diproses menjadi beras medium dan dijual harga normal rata-rata Rp 10.519 per kilogram (kg). Karena itu, disparitas harga di tingkat petani dan konsumen cuma Rp 3.219 per kilogram (44 persen).
Tapi, menurut Kementan, PT Indo Beras Unggul (IBU) menjual produknya berupa beras premium mencapai Rp 23 ribu-Rp 26 ribu per kg. Meski harga beli gabah petani angkanya seperti perusahaan lain. Artinya, disparitas harga di tingkat petani dan konsumen menembus 300 persen.
Harga jual produk PT IBU itu, seperti Cap Ayam Jago jenis pulen wangi super dan pulen wangi di Giant Cilandak, Jakarta Selatan masing-masing Rp 25.380 per kg dan Rp 21.678 per kg. Lalu, sebuah supermarket di Kemayoran, Jakarta Pusat Rp 3.180 per kg dan di Malang Town Square, Cap Ayam Jago beras pulen wangi super Rp 26.305 per kg.
Padahal, hampir semua beras medium dan premium berasal dari gabah varietas unggul baru (VUB) yang diproduksi dan dijual petani kisaran Rp 3.500-Rp 4.700 per kg gabah. Soalnya, total VUB yang digunakan mencapai 90 persen dari luas lahan padi 15,2 juta hektare.
Kemudian, digiling menjadi beras di petani berkisar Rp 6.800-Rp7.000 per kg dan petani menjual beras berkisar Rp 7.000 per kg dan penggilingan atau pedagang kecil menjual Rp 7.300 per kg ke Badan Urusan Logistik (Bulog) sesuai HPP.
Amran menambahkan, nilai ekonomi bisnis beras secara nasional bila dijual Rp 10.519 per kg dan mencapai 46,1 juta ton atau 46,1 miliar kg tiap tahun, maka mencapai Rp 484 triliun.
Jika acuan tersebut adalah total konsumsi beras medium, maka marjin yang didapatkan hanya Rp 65,7 triliun. Angka itu meroket drastis, ketika konsumen membelanjakan uangnya untuk beras premium.
Dengan asumsi marjin minimal beras premium Rp10.000/kg saja dan dikalikan total beras premium yang beredar diperkirakan 1 juta ton (2,2 persen) dari produksi beras nasional sebesar 45 juta ton/tahun, maka disparitas keekonomian sekitar Rp 10 triliun.
Dengan demikian, pedagang perantara (middleman) ditaksir memperoleh marjin Rp 133 triliun atau sekira Rp 300-an juta per orang berdasarkan estimasi jumlah pedagang 400 ribu orang, setelah dikurangi biaya processing, pengemasan, gudang, angkutan, dan lainnya.
Namun, keuntungan petani hanya Rp 65,7 triliun per tahun atau Rp 1 juta-Rp2 juta per tahun per orang untuk 56,6 juta anggota petani padi. Karena mayoritas produksi gabah berasal dari VUB dan ongkos produksi beras petani mencapai Rp 278 triliun.
"Melihat kesenjangan profit margin antara pelaku ini, tidak adil," tegasnya.
Karenanya, kata Amran, dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Pangan. Tujuannya agar keuntungan terdistribusi secara adil dan proporsional kepada petani, pedagang beras kecil, dan melindungi konsumen.
(nwy/hns)