Catatan Kritis Kasus PT IBU, Benarkah Ada Kartel dan Monopoli?

Catatan Kritis Kasus PT IBU, Benarkah Ada Kartel dan Monopoli?

Hans Henricus BS Aron - detikFinance
Jumat, 28 Jul 2017 06:44 WIB
Sutrisno Iwantono (Foto: Dok. Pribadi)
Jakarta - Kasus beras yang membelit PT Indo Beras Unggul (IBU), anak usaha PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk, mengundang perhatian banyak pihak. Salah satunya Ketua Tim Ahli Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sutrisno Iwantono.

Menurut Iwantono, ada beberapa hal yang perlu diluruskan dalam persoalan PT IBU. Pertama, terjadi tudingan kerugian masyarakat karena oligopoli. Iwantono mengatakan, oligopoli itu bukan kejahatan, tapi struktur pasar yang memang dalam industri tertentu dijalankan.

Kedua, tudingan telah terjadi kartel yang membeli harga beras di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Padahal, yang namanya kartel itu adalah persekongkolan di antara beberapa pelaku usaha untuk mengatur harga atau produksi untuk mendapat keuntungan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"PT IBU membeli di atas HPP disebut kartel yang membeli dan melakukan kejahatan. Ini ada dua kesalahan, pertama kartel yang membeli, kedua membeli di atas HPP sebuah kejahatan, padahal kalau ada yang bisa membeli di atas HPP, pemerintah harus happy," ujar Iwantono dalam diskusi di Jakarta, Kamis (27/7/2017).

Ketiga, dugaan terjadi monopoli di dalam sektor beras. Iwantono mengatakan, di pasar, posisi sebagai mayoritas bukanlah sebuah pelanggaran, kecuali menyalahgunakan posisi sebagai mayoritas.

"Ini dibilang terjadi monopoli, disebutkan menemukan 1.161 ton beras. Terus disebut terjadi kerugian negara, dari harga jual Rp 20.000 dikurangi Rp 7.300 dikali 40 juta ton, ini hasilnya ratusan triliun rupiah. Ini bagaimana menangkap 1.161 ton dianggap monopoli kerugian negara sebesar itu, tidak masuk akal," jelas mantan Ketua Komisi Persaingan Usaha (KPPU) itu.

Keempat, monopoli karena marjin yang tinggi, yaitu selisih dari beli di petani Rp 7.300 kemudian dijual Rp 20.000. Iwantono menjelaskan, saat membeli beras dari petani Rp 7.300/kg, itu masih dalam kondisi apa adanya, yaitu kadar air, darajat sosoh, dan kadar kotoran masih tinggi.

"Tapi, setelah beras itu diolah, kemudian ditambah ongkos transportasi, keuntungan distributor, dan lain-lain, tidak mungkin bisa dijual seharga Rp 9.000/kg," kata Iwantono.

Kelima, soal tudingan mengoplos beras menjadi kualitas premium. Iwantono menjabarkan, istilah beras oplosan harus diubah karena konotasinya negatif, yang benar adalah beras yang diracik sesuai dengan selera atau keinginan konsumen.

Misalnya beras pandan wangi dicampur dengan jenis IR agar rasanya enak tetapi harganya murah.

"Istilah oplosan beda dengan istilah oplosan minuman keras, karena yang lebih tepat beras yang diracik dan itu praktik yang sangat biasa sejak dulu," tutur Iwantono, yang juga Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia).

Keenam, pengertian beras subsidi. Menurut Iwantono, yang namanya subsidi, pupuk, dan lain-lain disebut subsidi saprotan (sarana produksi pertanian), bukan beras subsidi. Subsidi saprotan dirumuskan dalam rencana definitif kelompok.

Penerima subsidi saprotan itu bukan hanya petani beras, melainkan perkebunan, sayuran, dan perikanan ikut menerima subsidi itu.

"Kita itu menganut subsidi saprotan iya, dan HPP juga. Tapi ini bukan yang disebut dengan beras subsidi atau beras raskin yang sekarang disebut beras sejahtera atau rastra yang dibeli pemerintah seharga Rp 7.300/kg dan dijual Rp 1.600/kg. Itu namanya beras subsidi," pungkas Iwantono. (hns/wdl)

Hide Ads