Sulitnya Pemerintah Pajaki Toko Online

Sulitnya Pemerintah Pajaki Toko Online

Wahyu Daniel - detikFinance
Kamis, 24 Agu 2017 12:33 WIB
Foto: GettyImages
Yogyakarta - Pemerintah hingga saat ini masih belum menemukan cara yang ideal untuk memajaki setiap transaksi jual beli online. Padahal, perdagangan online di Indonesia nilainya sudah mencapai ratusan triliunan dalam satu tahun.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (BKF), Suahasil Nazara, mengatakan memajaki setiap perdagangan online tidak semudah membalikan telapak tangan.

"Harus mencoba memastikan level of playing field antara yang e-commerce dan konvensional, artinya ketentuan pajaknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, secara setara," kata dia di sela-sela acara 2nd Annual Islamic Finance Conference (AIFC) 2017 di Yogyakarta, Kamis (24/8/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia menyebutkan, saat ini pemerintah masih melakukan kajian bersama kementerian dan lembaga yang terkait dengan perdagangan online alias e-commerce.

Yang membuat pemerintah kesulitan menentukan skema pajak yang ideal bagi transaksi online ini lantaran bisnis modelnya yang terus berkembang, serta beragamnya e-commerce.

"Nah itu tentu membutuhkan perlu tahu secara detil, sampai memikirkan ke depannya apalagi nih yang berkembang, sehingga kita buat kebijakan yang antisipatif," tambah dia.

Skema pajak ini berlaku bagi seluruh toko online dan media sosial yang memiliki aktivitas perdagangan digital, baik yang domestik maupun mancanegara.

"Semua, yang ada aktivitas perdagangan online, ada transaksi," kata dia.

Lanjut Suahasil, salah satu contoh yang masih membuat pemerintah melakukan kajian adalah, transaksi online yang berasal dari luar negeri ke Indonesia. Seperti pembelian buku, namun yang datang bukan fisik melainkan buku dalam bentuk file.

Jika dalam file, maka skema menentukan pajaknya akan sulit dilakukan. Sebab, bea masuk yang harusnya dikenakan pun menjadi sulit mendeteksi.

"Makanya kita lihat, enggak sesimpel yang kita lihat, kok enggak bisa pajaki, bukan enggak bisa tapi kita lihat model bisnisnya itu tidak simpel, kalau bukunya masuk, katakanlah mesti bayar bea, bisa enggak ditarik? Bisa ada alamatnya, ada identitasnya, orangnya datang terus bisa dibayar, kalau dikirim lewat email (soft copy), Bea Cukai bisa stop enggak? Enggak bisakan, nah bagaimana tuh agar bisa kena," jelas dia.

Apalagi, para e-commerce yang berasal dari luar negeri menjadi sulit untuk dikenakan pajak lantaran tercatat bukan sebagai wajib pajak Indonesia.

"Kalau Amazon enggak buka di Indonesia, dia bukan wajib pajak Indonesia, lebih rumit dari sekadar bilang Amazon bayar pajak, dia adalah wajib pajak mana? Karena itu harus dilihat seluruh aturannya, tidak sesimpel orang bilang lho yang di Lazada tidak dipajaki, kalau sudah antar negara itu menjadi lebih delicate," ungkap dia.

Suahasil mengungkapkan, pemerintah hingga saat ini telah memiliki beberapa upaya untuk segeral memajaki e-commerce, salah satunya dari setiap transaksinya, jadi bukan melalui fisik barangnya. Namun, untuk merealisasikan hal tersebut harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan kementerian atau lembaga terkait lainnya.

"Caranya adalah kalau menurut kita lewat payment-nya, dari transaksinya, sekarang bagaimana? Ini harus ada semacam gateway, bagaimana mengaturnya kita harus ngomong sama BI, ngomong sama OJK, jadi tidak simpelkan," tutup dia. (wdl/wdl)

Hide Ads