Kepastian kenaikan tarif tol sendiri menjadi salah satu faktor penentu kelayakan usaha dan keberhasilan proyek Kerjasama Pemerintah dengan Swasta (KPS) dalam melalukan pengusahaan jalan tol. Tarif tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan (BKBOK) dan kelayakan investasi (Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan).
Dikutip dari data BPJT, Rabu (30/8/2017), evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap dua tahun sekali oleh BPJT berdasarkan tarif lama yang disesuaikan dengan pengaruh inflasi sesuai dengan formula.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Misalnya seperti pada ruas Tol tol Prof Dr Ir Soedijatmo yang mengalami penyesuaian tarif pada Oktober tahun lalu. Penyesuaian tarif tol tersebut dilakukan berdasarkan angka inflasi di wilayah terkait selama dua tahun terakhir.
Berdasarkan besaran inflasi yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada surat No. B180/BPS/6230/SHK/09/2016 tanggal 2 September 2016, maka didapat besaran inflasi di wilayah Jakarta 9,79%. Besaran inflasi ini akan ditambah satu dan dikalikan dengan tarif lama untuk mendapatkan besaran tarif baru.
Pemberlakuan tarif tol awal dan penyesuaian tarif tol sendiri ditetapkan oleh Menteri yang sesuai dengan pasal 48 ayat (4) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Pasal 68 ayat (3) dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol.
Pengusahaan jalan tol dilaksanakan dengan maksud untuk mempercepat perwujudan jaringan jalan bebas hambatan sebagai bagian jaringan jalan nasional. Konsesi pengusahaan jalan tol diberikan dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi pengembalian dana investasi dan keuntungan yang wajar bagi usaha jalan tol.
Pengguna jalan tol dikenakan kewajiban membayar tol yang digunakan untuk pengembalian investasi, pemeliharaan, dan pengembangan jalan tol. (eds/dna)











































