Hal tersebut menyebabkan meningkatnya kepadatan permukiman dan kebutuhan pelayanan dasar namun tak diiringi oleh pemenuhan kebutuhan pembangunan permukiman, dan sistem pengelolaan permukiman.
Hal ini ditunjukkan dengan data Ditjen Cipta Karya yang menunjukkan meningkatnya jumlah penduduk miskin di perkotaan Indonesia yang saat ini mencapai 10,49 juta orang pada tahun 2017, dan terdapatnya kawasan kumuh seluas 38.431 ha.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penanganan permukiman kumuh di Indonesia kedepannya harus dapat Iebih fokus, terintegrasi dan terencana serta mengubah wajah kawasan," kata Sekretaris Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR, Rina Agustin saat membuka Rapat Koordinasi Percepatan Penanganan Pemukiman Kumuh di Gedung Cipta Karya Kementerian PUPR, Jakarta, Selasa (5/9/2017).
Agar meningkatkan kualitas hidup manusia dan mensejahterakan masyarakat di kawasan kumuh tersebut, Kementerian PUPR melalui Ditjen Cipta Karya ditugaskan mengentaskan kawasan kumuh tersebut lewat program 100-0-100, yaitu 100% akses air minum aman, 0% permukiman kumuh dan 100% akses sanitasi Iayak.
Perwujudan gerakan 100-0-100 dilakukan dengan pendekatan lewat dibentuknya sistem yang terencana, menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan. Pembangunan dan pengembangan permukiman dilakukan dengan memberdayakan komunitas dan para pemangku kepentingan.
"Penanganan permukiman kumuh merupakan penanganan yang multisektor, melibatkan banyak pihak, bersifat kolaboratif, membutuhkan dana yang cukup besar dan memerlukan keberlanjutan dalam penanganannya," ungkap Rina.
Penanganan permukiman kumuh kata dia harus melibatkan peran aktif masyarakat pada setiap tahapannya, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemanfaatan dan pemeliharaan.
"Makanya penanganan permukiman kumuh tidak bisa dilakukan hanya untuk komponen tertentu, melainkan harus untuk seluruh komponen yang mewujudkan keterpaduan kawasan, dari aspek fisik lingkungan, ekonomi dan sosial," pungkasnya. (eds/dna)











































