Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan, hal ini membuktikan keberadaan taksi online di masyarakat tak bagus-bagus amat.
"Dari 4.688 responden, sebagian besar memang mengatakan ini menarik, murah dan sebagainya. Tapi ada 41% responden mengaku pernah dikecewakan. Artinya tak serta merta mereka semua puas," katanya dalam diskusi di Warung Daun, Jakarta, Senin (2/10/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal lainnya yang mengecewakan konsumen adalah sulitnya mendapatkan pengemudi, pengemudi yang membatalkan secara sepihak, aplikasi map error, plat nomor yang tidak sama dengan yang tertera di aplikasi, hingga kondisi kendaraan yang kurang baik.
Sedangkan sisanya tertuju kepada perilaku pengemudi. Di antaranya pengemudi yang tak kunjung datang, perilaku pengemudi yang tidak jujur ke konsumen, pengemudi yang memulai perjalanan lebih dulu sebelum bertemu dengan konsumen, pengemudi yang ugal-ugalan, kendaraan yang berbau asap rokok, pengemudi yang tak mau diberi tahu dan pengemudi yang merokok saat berkendara.
Tulus mengatakan, keberadaan transportasi online memang tidak bisa dielakkan, apalagi dilarang. Namun jenis transportasi ini tetap perlu diatur dengan jelas, terlebih pelayanan transportasi online belum mempunyai standar yang jelas. Oleh karena itu mendesak untuk adanya standar pelayanan.
"Taksi aplikasi enggak mungkn dilarang karena kemajuan teknologi, tapi tetap harus diatur. Di lain pihak, taksi konvensional juga harus bisa mengadopsi sistem di aplikasi. Misalnya kemudahan mendapatkan. Kemudian, kepastian tarif juga harus ada dan harus bisa diprediksi. Jangan naik taksi konvensional, tapi di tengah jalan, konsumen masig deg-degan menghadapi tarifnya," tukasnya. (eds/dna)











































