Menurut Pengamat Transportasi Azas Tigor, permasalahan taksi online vs offline pada dasarnya lantaran pemerintah yang terlambat melakukan pengaturan. Perusahaan seperti Go-Jek, Grab, atau Uber dibiarkan beroperasi tanpa ada regulasi yang jelas.
"Ketiga perusahaan itu kan pada dasarnya perusahaan teknologi aplikasi bukan perusahaan angkutan umum. Kalau di peraturan, operator angkutan umumkan harus berizin usaha angkutan umum, lah kok didiemin," tuturnya saat dihubungi detikFinance, Kamis (5/10/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Tigor seharusnya pemerintah mencontoh pemerintah Singapura yang sukses membuat taksi online dan konvensional akur. Itu lantaran pemerintah Singapura sejak awal mewajibkan perusahaan taksi online mematuhi peraturan transportasi Singapura yang ada.
"Di Singapura itu adem ayem, pemerintahnya tegas, mengaturnya jelas," tambahnya.
Selain itu, pemerintah Singapura juga tidak memanjakan para perusahaan taksi konvensional. Mereka menyetarakan peta persaingan bagi perusahaan taksi, seperti tidak adanya monopoli satu taksi terhadap tempat tertentu seperti hotel ataupun bandara.
"Misalnya di Singapra hotel-hotelnya tidak ada yang dimonopoli perusahaan taksi tertentu, semua boleh masuk. Siapa paling cepat dia dapat. Kalau di sini bukan cuma hotel, bandara juga dimonopoli. Di Singapura standar taksinya juga bagus, enggak ada taksi bodong yang enggak jelas," tukasnya. (dna/dna)











































