Hal tersebut diakui oleh pengamat ekonomi Institute For Economic and Development Finance (Indef) Bima Yudhistira. Bahkan proses alih profesi yang diterapkan oleh operator tol diprediksi tak selamanya mulus dalam implementasinya di lapangan, sehingga berpotensi menimbulkan PHK lebih besar.
"Itu jumlahnya kalau diestimasi memang cukup besar, secara operasional bisa lebih dari 5 ribu orang. Lalu, proses pengalihan tenaga kerja dari gardu tol manual, itu oleh Jasa Marga sampai sekarang juga belum ada kejelasannya. Jadi kalau kita bayangkan ada alih profesi untuk menjaga SPBU, menjaga UMKM di rest area atau ke tol-tol yang baru diresmikan, itu menurut saya agak susah karena skill dasarnya pun agak berbeda," ungkapnya saat ditemui di Gedung Wisma Antara, Jakarta, Senin (23/10/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harus tetap ada yang tunai. Walau pun hanya satu gardu, tapi bisa untuk mengurangi angka pengangguran yang akan tercipta. Karena alih profesi enggak semudah itu dilakukan, setidaknya secara bertahap," tutur Bima.
Penerapan 100% non tunai di tanggal 31 Oktober 2017 mendatang pun dirasa terlalu terburu-buru. Selain karena infrastruktur non tunai atau e-money di tol yang belum berfungsi secara sempurna, dia berharap hal ini bisa menyisakan waktu bagi karyawan yang akan terkena PHK mempersiapkan dirinya lebih matang. Setidaknya hingga 5 bulan ke depan.
"Jadi kalau bisa diperpanjang lagi sampai 5 bulan ke depan. Jadi adaptasi masyarakat juga baik. Karena kalau dasarnya adalah soal efisiensi dan tidak ada kemacetan, nyatanya enggak ya. Artinya alasannya harus rasional," tuturnya.
Bima juga meminta kepada perbankan untuk menjelaskan secara rinci dan transparan mengenai biaya investasi dari pembuatan kartu uang elektronik. Karena menurut dia, best practice penggunaan e-money justru harus memberi stimulus atau insentif ke pengguna untuk mau beralih ke perubahan cara dalam bertransaksi.
"Kita minta transparansi, berapa sih biaya investasi mesin EDC, pencetakan kartu dan lainnya yang ditanggung perbankan atau Jasa Marga, sehingga masyarakat transparan, walaupun top up cuma Rp 1.500 misalnya, itu bisa dipertanggung jawabkan," papar Bima.
"Karena kalau mau tiru Singapura, semua sudah pakai ERP (electronic road pricing), tidak pakai kartu lagi. Malaysia juga sebagian besar seperti itu. Dan kalau bicara soal e-money, Afrika, China semuanya sudah pakai mobile apps dan banyak diskon yang diberikan. Sementara kalau kita masih sibuk dengan kartu, kartu itu sangat mahal. Bukannya justru lebih efisien, justru lebih mahal," tandasnya. (eds/dna)