Merek Ternama Amerika pun Kewalahan Hadang Lesunya Ritel

Senjakala Toserba

Merek Ternama Amerika pun Kewalahan Hadang Lesunya Ritel

Erwin Dariyanto - detikFinance
Kamis, 26 Okt 2017 10:19 WIB
Foto: (Thinkstock)
Jakarta - Sudah seabad lebih gedung Lord and Taylor di kawasan Fifth Avenue, Manhattan itu dikenal sebagai ikon ritel terbesar di Amerika Serikat (AS). Aneka produk fashion ternama dunia ada di sana. Sebut saja: Luis Vuitton, Gucci, Prada, Armani, Nike hingga Chanel.

Para pelancong yang bertandang ke Amerika pun menjadikan Fifth Avenue dan gedung Lord and Taylor sebagai tujuan utama belanja. Namun kini deretan fashion ternama itu tak lagi memenuhi gedung Lord and Taylor.

Hudson's Bay Co (HBC) sang pemilik gedung yang juga perusahaan ritel asal Kanada itu menjual gedung tersebut ke WeWork Cos Inc dengan nilai US$ 850 juta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

WeWork Cos akan menjadikan gedung seluas 650 ribu kaki persegi tersebut sebagai pusat perkantoran. HBC akan menyewa ruangan seluas 150 ribu kaki persegi di gedung itu untuk gerai Lord and Taylor. Menurut Richard Baker, executive chairman of Hudson's Bay, tahun-tahun ini adalah masa yang sulit bagi perjuangan departemen store.

Menurut Baker, tahun-tahun ini adalah masa yang sulit bagi perjuangan departement store. Toko seperti Lord and Taylor harus mengikuti perubahan tren belanja dari offline ke online. Pihaknya akan terus berjuangan untuk mengikuti tren pelanggan. Apalagi sudah banyak toko-toko ritel di AS juga tutup dan beralih ke bisnis properti.

"Kami pasti berpikir ada masa depan untuk department store untuk orang-orang yang berinvestasi kembali dalam bisnis ini," kata Baker seperti dikutip dari Reuters, Kamis (26/10/2017).

Rencananya Lord & Taylor akan beroperasi kembali pada musim liburan 2018 sebelum WeWork mulai merenovasi gedung dan mengurangi ruangan untuk ritel. Terjualnya gedung Lord and Taylor akan membuat kemeriahan di Fifth avenue sebagai 'Surganya Belanja' para pelancong ke AS kian berkurang.

Pada April lalu Polo Ralph Lauren juga menutup gerai terbesarnya di Fifth Avenue and 55th Street. Padahal di kawasan tersebut toko busana pria ternama itu baru beroperasi pada 2013. Polo menyewa gedung seluas 3600 meter persegi untuk waktu 16 tahun dengan nilai kontrak US$ 400 juta atau sekitar Rp 5,3 triliun.

Peristiwa tutupnya dua gerai besar itu menandakan pemegang merek ternama dunia pun kewalahan menghadapi lesunya penjualan ritel. Mereka harus berinovasi mengikuti perubahan tren belanja konsumen.

Sebelum kedua merek ternama itu, Kenneth Cole, Juicy Couture, dan H&M mengurangi gerainya di Fifth Avenue.

"Model Fifth Avenue nampaknya bekerja untuk sementara, dan kemudian sampai pada titik di mana mereka tak lagi menggunakan model ini," kata Barbara Denham, ekonom senior di Reis, perusahaan data dan analisis real estat seperti dikutip dari www.nytimes.com.

Robert Burke, konsultan yang pernah bekerja di Ralph Lauren pada 1990, mengatakan, pilihan sejumlah toko merek ternama mengurangi gerai offline adalah hal yang rasional. Meski gerai berkurang namun dia yakin nama besar ritel ternama itu tak akan berkurang.

"Saya pikir brand akan fokus pada penjualan dan menjadi realistis dengan ukuran toko yang mereka perlukan," kata Burke. "Anda masih dapat mempertahankan brand tanpa ruangan besar."

Namun Direktur Studi Ritel Columbia Business School, Mark A. Cohen berpendapat lain. Menurut dia saat ini, "Departement Store sebenarnya seperti dinosaurus. Dan kematiannya sedang berlangsung," ujarnya. (erd/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads