Untuk krisis keuangan pada 1998, Sri Mulyani menyebutkan, penyebab utamanya adalah berasal dari neraca pembayaran.
"Terutama di Asia dengan nilai tukar yang tidak fleksibel, terus direkomendasikan dengan capital flow yang bebas, tidak ada sinkronisasi dari kurs dan capital inflow, dan ketidaksinkronan itu memunculkan spekulasi dan nilai tukar drastis, 1998 menjadi pembelajaran berharaga. Banyak negara mengubah policy," kata Sri Mulyani di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (31/10/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Krisis pada 1998, kata Sri Mulyani, banyak direspons oleh negara dengan memberlakukan nilai tukar lebih fleksibel serta melakukan monitoring terhadap capital inflow, serta neraca keuangan korporasi, neraca keuangan pemerintah, hingga Bank Sentral.
"Dalam surveillance semua neraca dilihat. Semuanya neracanya dilihat sehingga bisa deteksi lebih baik," tambah dia.
Untuk krisis keuangan pada 2008, kata Sri Mulyani lebih disebabkan oleh produk derivatif. Produk derivatif adalah sebuah kontrak bilateral atau perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya diturunkan atau berasal dari produk yang menjadi acuan pokok atau disebut produk turunan (underlying product), daripada memperdagangkan atau menukarkan secara fisik suatu aset, pelaku pasar membuat suatu perjanjian untuk saling mempertukarkan uang, aset atau suatu nilai disuatu masa yang akan datang dengan mengacu aset yang menjadi acuan pokok.
"2008 krisis trigger-nya itu produk derivatif, tracking risiko dengan munculnya produk-produk baru tidak terdeteksi, neraca sehat tapi banyak risiko tersembunyi sehingga menimbulkan akumulasi risiko," papar dia.
Dia menilai risiko-risiko yang muncul juga dikarenakan oleh perkembangan teknologi yang membawa perubahan sehingga mengakibatkan distruction.
Dengan terjadinya krisis keuangan tersebut, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini juga telah melakukan pembahasan dalam setiap pertemuan IMF-World Bank
"Suasana yang muncul para menteri keuangan dan gubernur bank sentral semangat kooperasi dan koordinasi dijaga, entah dari sisi policy perdagangan, fiskal dan lain-lain," tutup dia.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, pasca krisis keuangan 1998, pemerintah telah melakukan reformasi yang membuat kondisi makroprudential dalam kondisi yang kuat.
"Untuk kiris 2008 sekarang sudah punya tracking system lebih baik, koordinasi lebih baik, potensi risiko berasal dari eksternal kita bisa koordinasi lebih baik," kata Wimboh. (mkj/mkj)