"Tak hanya disepakati sebagai konsensus. Indonesia mendorong seluruh negara ASEANn benar-benar mengawal dan memiliki komitmen yang sama dalam mengimplementasikan konsensus melalui action plan terkait perlindungan pekerja migran dan keluarganya. Baik yang legal maupun yang tidak berdokumen," kata Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri dalam keterangan tertulis, Senin (13/11/2017).
Hanif mengatakan itu sebelum pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-31 yang digelar di Manila, Filipina, 12-14 November 2017. Penandatangan dilakukan pada hari kedua KTT. Seluruh menteri ketenagakerjaan ASEAN juga menyaksikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi, Indonesia berhasil mendesak negara ASEAN menyepakati dokumen tersebut," kata Hanif.
Hanif menjelaskan, butir-butir penting dalam instrumen konsensus tersebut antara lain, perlindungan tak hanya pada pekerja migran, tapi juga keluarganya. Hal ini selaras dengan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
Indonesia juga telah meratifikasinya melalui UU No. 6 Tahun 2012. Perlindungan juga diberikan kepada pekerja migran undocumented, yakni pekerja migran yang masuk dan tinggal untuk bekerja di suatu negara secara ilegal, serta pekerja migran yang awalnya legal namun berubah menjadi ilegal.
Adapun hak-hak dasar pekerja migran dan keluarganya mencakup: mendapatkan kunjungan dari anggota keluarganya, menyimpan dokumen pribadi, termasuk paspor dan dokumen izin kerja, kesetaraan di mata hukum ketika ditahan atau dipenjara saat menunggu masa sidang atau ketika ditahan untuk alasan lainnya.
Mereka juga mempunyai hak menyampaikan keluhan kepada otoritas terkait, serta mendapatkan bantuan dari Perwakilan Pemerintah di negara penempatan. Di negara penempatan, pekerja migran juga bebas berpindah tempat kerja.
Selain itu, pekerja migran dan keluarganya juga memperoleh hak akses informasi terkait pekerjaan, kondisi kerja, kontrak kerja, perlakukan adil di tempat kerja, mendapatkan akomodasi, tunjangan dan penghasilan yang layak dan adil.
Konsensus itu juga menjelaskan bahwa pekerja migran bebas mengirimkan pendapatan dan simpanannya melalui cara pengiriman sesuai aturan yang berlaku di negara penempatan. Mereka juga bebas berkumpul dan berserikat dengan asosiasi/organisasi pekerja sesuai aturan yang berlaku di negara penempatan.
Ide konsensus ASEAN tentang perlindungan terhadap pekerja tercetus sejak KTT Asean ke-12, tahun 2007 di Cebu, Filipina, yang dikenal sebagai "Cebu Declaration". Cebu Declaration mengamanatkan bahwa ASEAN perlu memiliki instrumen yang melindungi dan mempromosikan hak-hak pekerja migran.
Meski instrumen tersebut dihasilkan secara konsensus, lanjut Hanif, namun instrumen ini memiliki mekanisme review untuk menjamin pelaksanaan instrumen ini menuju ke arah dokumen yang legally binding. Selain itu, dokumen ini akan diikuti action plan yang akan disusun bersama dibawah senior labour official meeting. (ega/hns)