Sejak 2015, Tangkapan Tuna RI Selalu di Bawah Kuota

Sejak 2015, Tangkapan Tuna RI Selalu di Bawah Kuota

Eduardo Simorangkir - detikFinance
Senin, 20 Nov 2017 15:49 WIB
Foto: Istimewa
Jakarta - Setiap tahunnya, pemerintah lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan kuota penangkapan ikan. Namun, sejak tahun 2015, realisasinya selalu lebih rendah dari kuota yang ditetapkan.

Hal tersebut disampaikan oleh Rektor terpilih Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2017-2022, Arif Satria dalam diskusi interaktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Senin (20/11/2017).

"kuota makin naik. Tapi jumlah tangkapan makin turun itu harus ada solusi," katanya dalam diskusi tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tercatat di 2015, hasil tangkapan tuna sebesar 592 ribu ton dari kuota atau potensi 750 ribu ton. Di 2016 jumlah tangkapan tuna tercatat 600 ribu ton dari kuota 750 ribu ton.

Menurut dia, rendahnya realisasi tangkapan ikan tersebut, terjadi semenjak adanya larangan transhipment atau alih muatan perikanan di tengah laut.

Saat transhipment masih diperbolehkan, nelayan bisa menjual lebih banyak ikan dalam sekali melaut. Karena, lokasi penangkapan dekat dengan kapal 'pembeli' yang siap langsung membeli hasil tangkapan nelayan di tengah laut.

Berbeda ketika transhipment dilarang. Nalayan harus menjual hasil tangkapannya di darat. Artinya, nelayan hanya bisa melakukan sekali penangkapan dalam sekali melaut. Ikan yang ditangkap pun hanya bisa sebatas muatan kapal.

Sebenarnya, nelayan bisa saja menangkap ikan berkali-kali ke tengah laut. Namun biaya bolak-balik, pelabuhan pelalangan di darat dengan lokasi penangkapan yang ada di tengah laut bisa dikatakan cukup mahal. Hasil tangkapan tak seberapa namun biaya melautnya tinggi.

"Dari beberapa asoasi, ada persoalan titip ikan. Yang nangkap di sana (tengah laut) kalau harus bolak-balik enggak efisien. Bahan bakar dan sebagainya. 2015-2016 masih agak mending 500-600 ton kapasitasnya karena ada titip (transhipment). Tapi sekarang karena ada regulasi baru (larangan transhipment), jadi terhambat. Jadi perlu investasi dan regulasi baru untuk ini," sebut Arif.

Meski demikian, ia memaklumi langkah tegas pemerintah yang melarang transhipment. Karena selama ini transhipment seringkali disalahgunakan untuk penangkapan ikan ilegal dan juga penyelundupan bbm.

Namun yang perlu dilakukan pemerintah adalah memberikan jalan keluar atas masalah tersebut. Yakni, larangan transhipment bisa tetap berjalan, namun nelayan bisa meningkatkan hasil tangkapan.

Bagaimana caranya?

Ia menyarankan agar pemerintah bisa menyediakan lebih banyak kapal longline untuk menangkap tuna, sehingga potensi yang ada bisa diserap.

Di antaranya perlu penambahan kapal longline untuk memanfaatkan catch limit big eye tuna atau batasan tangkapan tuna mata besar, di wilayah western central pacific sebanyak 5.889 ton per tahun atau setara dengan sekitar 15.704 GT kapal di laut lepas.

Pihaknya juga merekomendasikan penambahan kapal untuk wilayah-wilayah lainnya seperti di IOTC (Indian Ocean Tuna Commission) dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) untuk memaksimalkan hasil tangkapan.

"Banyakin kapal longline 15 ribu GT setara. Rata-rata 100 GT saja jadi 150 kapal," tukasnya. (dna/dna)

Hide Ads