Dia menjelaskan, anggaran transfer ke daerah dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dari alokasi Rp 81 triliun pada saat launching program desentralisasi fiskal di awal 2000, hingga saat ini sudah menjadi Rp 766 triliun.
Begitu pula alokasi anggaran belanja di APBD dalam kurun waktu yang sama, juga meningkat hampir 12 kali lipat dari Rp 93 triliun kini menjadi Rp 1.097 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Transformasi pengelolaan keuangan negara merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dan krusial. Perlu untuk segera dilakukan transformasi tersebut, mengingat pengelolaan APBN dan APBD masih terdapat celah-celah yang masih bisa diperbaiki agar bisa lebih efektif, efisien, optimal dan produktif," lanjut Boediarso.
Dia menambahkan, ada 4 indikator yang menunjukkan pengelolaan anggaran daerah yang belum efektif dan efisien. Mulai dari belanja pegawai yang jauh lebih besar dari porsi belanja modal, hingga realisasi belanja modal yang lambat.
"Realisasi belanja modal lambat dan simpanan Pemda di bank makin tahun makin meningkat. Diperparah lagi terdapat ketimpangan dalam layanan publik antar daerah. Pada akses air bersih di Balikpapan misalnya, mencapai 98%. Kalau kita lihat sebaliknya di Papua baru 4%. Di kesehatan, untuk Aceh telah terdapat 15 berbanding 100 ribu tenaga kesehatan. Di Kupang, baru 1,4 per 100 ribu yang dilayani tenaga kesehatan," jelas Budiarso.
"Lebih menyedihkan lagi, terdapat 361 kepala daerah yang terlibat kasus korupsi dari 542 daerah. Di antaranya 18 gubernur, dan 343 bupati atau wali kota. Korupsi terbesar ada pada pelaksanaan dari pengadaan konstruksi bangunan," pungkasnya. (hns/hns)