Salah satu kunci rahasia kenapa mereka boleh dikatakan tak pernah berunjuk rasa menuntut ini-itu, karena perusahaan telah memberikan pendidikan kepada mereka dengan baik.
"Percayalah, jika kualitas SDM karyawan kita baik mereka tak akan mudah berunjuk rasa apalagi mogok kerja. Aksi-aksi unjuk rasa yang terjadi biasanya dari perusahaan lain bukan dari perusahaan Jepang," kata Rachmat di hadapan ratusan pengusaha Jepang dan Indonesia yang mengikuti Forum Bisnis Indonesia-Jepang, Rabu (29/11/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan filosofi Monozukuri, kedua raksasa otomotif itu saat awal berinvestasi tak serta-merta membuat mobil. Tapi keduanya menyiapkan sumber daya manusia yang akan menjadi pekerjanya dengan memberikan pelatihan dan pendidikan yang memadai.
"Dengan begitu produk yang dihasilkan akan baik dan berkualitas tinggi," ujarnya.
Rachmat yang berbicara dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Jepang itu juga menekankan agar para pengusaha hendaknya tak menjadikan upah murah sebagai daya tarik utama dalam berinvestasi.
"Saya tidak suka, tidak happy kalau ada yang bilang tenaga kerja Indonesia dibilang murah. Mari kita tak cuma bicara soal uang, tapi juga memperhatikan nilai-nilai," imbuhnya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah transfer teknologi ke Indonesia sebagai wujud menjaga keseimbangan. Sebab salah satu keunggulan Jepang sejak lama adalah di bidang teknologi, sehingga kemampuan itu perlu juga ditularkan ke Indonesia. Teknologi dimaksud bisa yang terkait lingkungan hidup misalnya, sehingga memiliki nilai tambah yang sangat baik bagi Indonesia.
Dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, menurut lelaki kelahiran Jakarta, 3 September 1962 itu, Indonesia memang pasar yang besar. Tapi produksi barang dan jasa yang dihasilkan seyogyanya tak cuma konsumsi domestik, melain akan sangat ideal bila juga diekspor ke mancanegara.
"Ini juga bagian dari strategi manajemen dalam menjaga keseimbangan," ujar Rachmat. (jat/ang)