Perjalanan APBN 2017 Disusun 2 Menteri

Perjalanan APBN 2017 Disusun 2 Menteri

Hendra Kusuma - detikFinance
Senin, 25 Des 2017 16:57 WIB
Perjalanan APBN 2017 Disusun 2 Menteri
Jakarta - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2017 memiliki ceritanya sendiri. Disusun oleh Bambang Brodjonegoro pada 2016 selagi menjabat Menteri Keuangan, namun diimplementasikan atau dikawal oleh Sri Mulyani Indrawati yang menggantikannya.

Tepat pada 27 Juli 2016, Sri Mulyani Indrawati dipanggil oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengabdi di Indonesia setelah sekira enam tahun bekerja di Bank Dunia, dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Pelaksana.

Sri Mulyani diberikan amanah oleh Mantan Wali Kota Solo ini menjadi Menteri Keuangan atau sama seperti 10 tahun yang lalu saat Indonesia dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sehari setelah resmi menjabat sebagai pimpinan pucuk di Kementerian Keuangan, perempuan yang akrab disapa Ani ini langsung meminta izin kepada Jokowi untuk melakukan perombakan atas APBN 2017 yang telah disahkan menjadi UU.

Langkah awal setelah melihat APBN, dia langsung memutuskan untuk memangkas anggaran belanja sebesar Rp 133,8 triliun. Pemangkasan itu mencakup anggaran belanja Rp 65 triliun di Kementerian/Lembaga, serta transfer ke daerah Rp 68,8 triliun.

Pemangkasan yang dilakukannya juga tidak mengganggu kemampuan APBN mendorong perekonomian. Sebab, sasaran pemotongan ini adalah belanja yang tidak prioritas, seperti gaji pegawai, belanja dana operasional, perjalanan dinas, pembangunan gedung pemerintah.

Menurut dia basis perpajakan Indonesia masih sangat rendah sehingga sulit untuk mencapai target penerimaan perpajakan yang pada waktu itu ditetapkan sebesar Rp 1.539,2 triliun. Jika itu tidak bisa dijadikan acuan maka akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi di kemudian hari. Dia memperkirakan terjadi shortfall atau keuangan penerimaan pajak Rp 219 triliun sehingga harus melakukan pemangkasan anggaran.
APBN 2017 disusun dengan belanja negara Rp 2.070,5 triliun yang teridiri dari belanja pemerintah pusat Rp 1.310,4 triliun dan transfer ke daerah serta dana desa Rp 760 triliun.

Pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp 1.737,6 triliun yang berasal dari penerimaan perpajakan Rp 1.495,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 240 triliun. Dengan nilai belanja dan pendapatan tersebut maka terjadi defisit anggaran Rp 332,8 triliun atau 2,41% dari PDB.

Adapun asumsi dasar makro ekonomi yang ditetapkan adalah pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1%, tingkat inflasi 4%, nilai tukar Rp 13.300 per US$, tingkat bunga SPN 3 bulan 5,3%, harga minya mentah US$ 45 per barel lifting minyak bumi 815 ribu barel per hari (bph), lifting gas bumi 1,15 juta barel per hari setara minyak.

Sri Mulyani meminta kepada para pimpinan Kementerian/Lembaga untuk tidak sering atau senang mengutak-atik anggaran yang telah dialokasikan. Hal itu agar APBN berjalan lebih baik. Sesuai arahan Presiden Jokowi, penyusunan program dari setiap rupiah yang dipakai harus benar-benar untuk program (money follow program) tidak lagi money follow fungsi.

Pemerintahan sudah berjalan lima bulan, Sri Mulyani juga kembali melakukan pemangkasan terhadap belanja K/L sebesar Rp 16 triliun sesuai dengan arahan Presiden Jokowi yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Efisiensi Belanja Barang Kementerian/Lembaga Dalam Pelaksanaan APBN 2017.

Pada saat itu juga, perekonomian global masih memberikan dampak terhadap Indonesia karena ketidakpastiannya. Harga minyak berangsur meningkat di atas dari asumsi yang telah ditetapkan. Kenaikan juga didorong adanya pemangkasan produksi minyak global oleh OPEC serta adanya perbaikan ekonomi global.

Bayang-bayang ketidakpastian dunia ini membuat beberapa asumsi dasar makro ekonomi berubah, seperti minyak mentah yang harganya sudah US$ 50 per barel atau di atas asumsi. Pada bulan kelima di 2017, pemerintah sudah mulai menyusun APBN Perubahan.

Dalam masa penyusunan APBN-P 2017, Jokowi juga menitipkan perubahan asumsi pertumbuhan menjadi 5,3% dari yang sebelumnya 5,1%. Perubahan tersebut terlihat karena kondisi ekonomi dunia yang melaju ke arah pertumbuhan lebih baik, dan pemerintah akan tetap mengandalkan konsumsi rumah tangga, beserta investasi dan eskpor sebagai kontributornya.

Pemerintah mengusulkan RAPBNP-2017 dengan asumsi sebagai berikut:
- Pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% (sebelumnya 5,1%).
- Tingkat inflasi 4,3% (sebelumnya 4%).
- Nilai tukar Rp 13.400 per US$ (sebelumnya Rp 13.300 per US$).
- Tingkat bunga SPN 3 bulan 5,2% (sebelumnya 5,5%).
- Harga minya mentah US$ 48 per barel (sebelumnya US$ 45 per barel).
- Lifting minyak bumi 815 ribu barel per hari (bph) (tetap).
- Lifting gas bumi 1,15 juta barel per hari setara minyak (tetap).

Proses pengajuan RAPBNP-2017 juga dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang diutus sementara menjadi menteri keuangan, setelah Sri Mulyani mendapat tugas untuk menghadiri forum G20 di Hamburg, Jerman.

Tepat pada Juli 2017, Sri Mulyani yang mewakili pemerintah bersama dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR menyepakati APBN-P 2017 untuk disahkan menjadi UU dalam sidang paripurna.

Setelah membahasnya bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akhirnya disepakati APBN-P 2017 dengan belanja negara menjadi Rp 2.133,29 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 1.366,95 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa Rp 776,33 triliun. Sedangkan untuk pendapatan negara menjadi Rp 1.736,06 triliun yang terdiri dari penerimaan dalam negeri Rp 1.732,95 triliun dan hibah Rp 3,108 triliun.

Sedangkan pendapatan negara Rp 1.736,06 triliun dan belanja negara Rp 2.133,29 triliun, maka defisit APBN-P 2017 sebesar Rp 397,23 triliun atau 2,92% (outlook) terhadap PDB.

Dipenghujung tahun 2017, pemerintah telah mengumumkan realisasi APBN-P per 15 Desember, di mana belanja negara Rp 1.849,5 triliun atau 88,1% dari target APBNP 2017 sebesar Rp 2.098,9 triliun. Sedangkan penerimaan negara telah mencapai Rp 1.496,9 triliun atau 86,2% dari target Rp 1.736,1 triliun.

Dengan pendapatan negara Rp 1.496,9 triliun dan belanja negara Rp 1.849,5 triliun, maka angka defisit telah mencapai 2,62% atau masih jauh dari angka outlook yang sebesar 2,92%.

"Dengan realisasi ini, maka kita melihat untuk tahun 2017 keseluruhan APBNP 2017 masih ada di dalam rambu UU APBNP 2017. Dan ini berarti kita tetap dalam situasi APBN 2017 yang cukup stabil," kata Sri Mulyani saat konfrensi pers APBNP 2017 di Gedung Djuanda I, Jakarta, Rabu (20/12/2017).

Pendapatan negara yang telah mencapai Rp 1.496,9 triliun berasal dari pendapatan dalam negeri yang mencapai Rp 1.492,5 triliun atau sudah 86,1%, terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 1.211,5 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 281,0 triliun atau 108,0% dari target Rp 260,2 triliun. Lalu berasal dari penerimaan hibah yang mencapai Rp 4,4 triliun atau 140,7% dari target Rp 3,1 triliun.

Sedangkan untuk belanja negara telah mencapai Rp 1.849,5 triliun berasal dari belanja pemerintah pusat Rp 1.132,3 triliun atau 84,3% dari target Rp 1.343,1 triliun, terdiri dari belanja kemeterian/lembaga (K/L) Rp 664,9 triliun atau 86,4%, lalu belanja non k/L Rp 467,3 triliun atau 81,4%.

Untuk realisasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) telah mencapai Rp 717,3 triliun atau 94,9% dari target Rp 755,9 triliun. Untuk dana transfer ke daerah mencapai Rp 657,5 triliun atau 94,2%, dan dana desa Rp 59,8 triliun atau 102,7% dari target Rp 58,2 triliun.

Dengan capaian tersebut, hingga per 15 Desember 2017 untuk keseimbangan primer mencapai Rp 137,2 triliun, dengan total defisit mencapai Rp 352,7 triliun atau sebesar 2,62 dari PDB.

Sedangkan realisasi asumsi dasar makro ekonomi per 15 Desember 2017, untuk pertumbuhan ekonomi mencapai 5,03%, tingkat inflasi sebesar 3,3%, suku bunga SPN 3 bulan 5,0%, nilai tukar rupiah Rp 13.377 per US$, harga minyak (ICP) US$ 50 per barel, lifting minyak 796,9 ribu bph, dan lifting gas 1.126,6 ribu setara minyak per hari.

Meski realisasi APBN-P masih sesuai dengan rambu UU yang telah ditetapkan, namun dalam perjalannya tetap saja dihadapi berbagai tikungan tajam. Salah satunya mengenai utang pemerintah yang meningkat cukup tinggi.

Utang pemerintah sampai Oktober 2017 meningkat Rp 419,49 triliun menjadi Rp 3.886,45 triliun dari angka terakhir di tahun sebelumnya yang sebesar Rp 3.466,96 triliun. Angka utang ini dianggap masih aman atau sekitar 27%-28% terhadap PDB.

Batasan utang pemerintah pusat ini berdasarkan UU yang mengaturnya ditetapkan maksimal 60% terhadap PDB. Adapun, angka utang per Oktober menjadi yang terakhir dirilis oleh Kementerian Keuangan melalui Ditjen Pembiayaan Pengelolaan dan Risiko (DJPPR).

Tingginya pertumbuhan utang pemerintah Indonesia dikarenakan kebutuhan belanja negara yang besar. Apalagi, pemerintahan kabinet kerja di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sangat amat fokus membangun infratruktur untuk mengejar ketertinggalan dan memeratakan penyebaran ekonomi.

Utang yang mencapai tiga ribuan triliun ini juga sejatinya bukan karena pemerintahan kabinet kerja saja, melainkan para pemimpin sebelumnya juga turur ikut andil.

Berbicara mengenai utang tentu saja membuat hati kita merasa cemas, apalagi nilainya yang mencapai ribuan triliunan. Namun, apakah Indonesia bisa tetap tumbuh ekonominya jika tanpa utang ?

Jawabannya bisa, tetapi harus perlu dimengerti dengan susunan APBN yang masih terdapat defisit anggaran maka hal itu perlu dihilangkan terlebih dahulu. Pasalnya, jika terdapat defisit maka ditutupinya dengan utang.

Defisit anggaran terjadi karena lebih besarnya anggaran belanja negara dibandingkan dengan pemasukan negara. Seperti pada tahun ini, defisit anggaran sebesar Rp 397,23 triliun atau 2,92% (outlook) terhadap PDB.

Jika pemerintah tidak lagi menutupi defisit dengan utang, maka jalan satu-satunya harus menambah penerimaan negara sebesar Rp 397,23 triliun lagi. Salah satu yang paling berpotensi adalah pajak.

Namun, pajak memiliki sensitivitas yang tinggi akan hajat hidup orang banyak sekalipun itu wajib bagi masyarakat. Akan tetapi, upaya tersebut memiliki risiko besar.

Oleh karena itu, menyiasati defisit anggaran dengan melakukan utang, dan utang tersebut dikelola, diawasi, sehingga menjadi manfaat bagi negara seperti pembangunan infrastruktur.

Hide Ads