Sevel, Matahari, Hingga Debenhams Tutup Gerai di 2017

Sevel, Matahari, Hingga Debenhams Tutup Gerai di 2017

Danang Sugianto - detikFinance
Senin, 25 Des 2017 19:16 WIB
1.

Sevel, Matahari, Hingga Debenhams Tutup Gerai di 2017

Sevel, Matahari, Hingga Debenhams Tutup Gerai di 2017
Jakarta - 2017 menjadi tahun yang kurang mengenakan bagi industri ritel. Bagaimana tidak, sederet perusahaan terpaksa melakukan penutupan gerai, bahkan ada yang gulung tikar alias seluruh gerainya tak lagi beroperasi.

Banyak faktor yang menyebabkan tutupnya gerai-gerai tersebut dari mulai murni karena strategi pengembangan usaha perusahaan, terpaksa tutup karena sulit bersaing dengan situs belanja online hingga dugaan daya beli lesu.

detikFinance merangkumannya dalam sajian artikel yang dabat dibaca berikut ini:
Penutupan geari Sevel sebenarnya sudah terjadi sebelum masuk 2017. Convenience store asal Amerika Serikat yang lisensi waralabanya dipegang oleh PT Modern Sevel Indonesia (MSI) ini mulai menutup gearinya lantaran beberapa cabangnya dianggap tak lagi sanggup menuai profit.

Diduga penutupan beberapa gerai Sevel lantaran tak sanggup bersaing. Sebab Sevel sebelumnya sangat bergantung pada penjualan bir serta beberapa makanan dan minuman. Semenjak Kementerian Perdagangan mengatur penjualan minuman beralkohol kinerja Sevel mulai merosot.

Usai mengalami kerugian, pada awal 2017 ada isu akuisisi 7-Eleven oleh PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI) yang merupakan entitas dari PT Charoen Pokphand Indonesia (CPI) Tbk. Kedua perusahaan tersebut telah menyepakati akuisisi dengan nilai Rp 1 triliun, kesepatakan tersebut tertuang dalam Conditional Sales Purchase Agreement (CSPA).

Namun, kabar akuisisi tersebut batal terealisasi dikarenakan adanya ketidaksepakatan. Informasi itu disampaikan oleh manajemen PT Modern Internasional Tbk (MDRN) sebagai induk usaha dari PT Modern Sevel Indonesia yang merupakan pemegang hak master franchise sevel di Indonesia melalui keterbukaan informasi, Senin (5/6/2017).

Pembatalan akusisi itu juga berujung pada informasi penutupan gerai 7-Eleven di Indonesia. Akhir bulan Juni 2017, MSI resmi menutup seluruh gerai Sevel.

Keputusan penutupan seluruh Sevel itu berdampak pada saham sang induk yakni PT Modern Internasional Tbk (MDRN). Saham MDRN anjlok di level paling dasar Rp 50 alias gocap. Sevel memang menjadi bisnis andalan MDRN, meskipun peseroan masih memiliki bisnis lainnya seperti PT Modern Data Solusi.

MDRN sepanjang 9 bulan di 2017 menderita kerugian komprehensif periode berjalan sebesar Rp 806,1 miliar. Angka itu meningkat 418,39% dari catatan rugi komprehensif periode berjalan kuartal III-2016 sebesar Rp 155,5 miliar.

MDRN mencatatkan penjualan bersih sebesar Rp 189,6 miliar. Angka tersebut turun 71,3% dibanding penjualan bersih periode yang sama ditahun sebelumnya sebesar Rp 660,7 miliar.

Jika dilihat dari entitas usahanya, penurunan penjualan paling besar dari lini bisnis Sevel. Sepanjang 9 bulan tahun ini bisnis Sevel hanya membukukan penjualan bersih Rp 133,7 miliar, turun 74,6% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 526,2 miliar. Tidak jauh berbeda dengan Sevel, lini bisnis industrial imaging juga turun 41,6% dari Rp 134,5 miliar di kuartal III-2016 menjadi Rp 55,9 miliar.

Bukan hanya membebani kinerja keuangan dan meninggalkan utang yang diperkirakan mencapai Rp 1 triliun, tutupnya seluruh Sevel juga meninggalkan masalah baru yakni permasalahan dengan mantan karyawannya yang diperkirakan mencapai 1.300 orang.

Perseroan bejanji akan menyelesaikan segala tanggungjawab perseroan terhadap mantan karyawan yang terkena dampak. Bahkan manajemen juga menyatakan akan membantu karyawannya untuk mencari kerja di convenience store yang lain seperti Alfamart dan Indomaret.

Namun entah kenapa hubungan mantan karyawan Sevel dengan MDRN semakin buruk. Para karyawan justru menggelar aksi di depan kantor pusat MDNR pada 26 September 2017.

Ada 5 poin yang menjadi tuntutan utama para demonstran, yakni pesangon, gaji+tunjangan, sisa THR, uang transport dan iuran Jamsostek yang sudah dipotong.

PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) nasibnya tak seburuk MSI yang menutup seluruh gerainya. Matahari hanya menutup beberapa gerainya tahun ini.

Pada akhir September Matahari menutup 2 gerainya yang berada di Pasaraya Manggarao dan Pasaraya Blok M. Alasannya lantaran pusat perbelanjaan di kedua titik itu sepi.

Pemasukan dari kedua cabang itu tidak mampu menutupi biaya opeasionalnya. Sehingga meski sudah beroperasi selama 2 tahun, LPPF terpaksa untuk menutupnya.

Untuk menghabiskan stok, Matahari pun menerapkan diskon besar-besaran untuk semua produknya hingga 75%. Benar saja, Matahari di dua cabang itupun diserbu pembeli. Bahkan di hari-hari terakhir kondisi toko berantakan lantaran saking banyaknya pengunjung yang berebut diskon.

Lalu pada awal Desember 2017 Matahari kembali menutup cabangnya di Mal Taman Anggrek. Sama seperti kedua cabang tersebut, Matahari di Taman Anggrek juga menggelar diskon besar-besaran dalam rangka menghabiskan stok.

Perusahaan pengeola banyak toko ritel ternama, PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) pun ikut melakukan penutupan toko. Manajemen memutuskan untuk menutup seluruh gerai Lotus dan Debenhams di Indonesia.

MAPI berencana menutup gerai terakhir Lotus di Thamrin pada Oktober 2017, sementara Debenhams akan ditutup pada akhir tahun. Keputusan tersebut diambil manajemen setelah mempertimbangkan perubahan tren ritel secara global. Apalagi perubahan gaya berbelanja dari offline ke online mulai merambah Indonesia.

Pihaknya pun tengah melakukan konsolidasi bisnis departmen store dan fokus pada gerai SOGO, SEIBU dan Galeries Lafayette. MAP akan terus berinvestasi pada bisnis Active, Fashion dan Food & Beverage. Indonesia juga melihat pertumbuhan signifikan industri e-Commerce yang berdampak pada offline store.

Lotus sendiri dioperasikan oleh PT Java Retailindo (JR) yang sahamnya 100% dimiliki oleh MAPI. Sementara Debenhams yang merupakan peritel multinasional asal Inggris lisensinya di pegang oleh anak usahanya PT Benua Hamparan Luas.

Tutupnya Lotus di Thamrin cukup menghebohkan. Pusat perbelanjaan pakaian yang tadinya tidak begitu ramai tiba-tiba dipadati pengunjung yang tertarik dengan diskon hingga 80%.

Bahkan ada pengunjung yang rela mengantri sebelum toko dibuka. Pihak keamanan toko juga terpaksa untuk membatasi jumlah pengunjung yang masuk kedalam. Mereka harus rela mengantri di luar toko untuk menunggu giliran masuk ke dalam.

Menyusul Matahari, Ramayana, Lotus dan Debenhams, satu lagi merek ritel pakaian yang melakukan penutupan toko di Indonesia tahun ini yakni GAP. Merek pakaian asal AS ini dikelola di Indonesia oleh PT Gilang Agung Persada.

Penutupan toko GAP bermula diketahui pada cabang di Pondok Indah Mall (PIM) II. Sejak awal November 2017 kemarin cabang GAP tersebut sudah tutup.

Sebelum melakukan penutupan, GAP di PIM II sudah mengelar diskon besar-besaran hingga 70%. Promosi tersebut untuk menghabiskan stok pakaian yang tersedia.

Meski sudah resmi tutup, namun masih ada sisa stok pakaian wanita yang tersedia. Pihak GAP membuka satu toko di sebelah untuk melakukan bazar guna menghabiskan sisa stok yang ada.

PT Gilang Agung Persada ternyata juga memutuskan untuk menutup seluruh gerai GAP dan Banana Republic di Indonesia. Penutupan seluruh gerai resmi dilakukan pada Februari 2018.

Saat itu gerai GAP tersisa di Grand Indonesia dan Surabaya Tunjungan Plaza. Sedangkan gerai Banana Republic tersisa di Senayan City dan Grand Indonesia.

Brand Manager GAP Indonesia, Natasha Nasution, menegaskan keputusan penutupan gerai dua brand tersebut dilakukan lantaran kontrak kerja sama dengan GAP Inc telah habis. Dia menepis dugaan lantaran terimbas pelemahan daya beli masyarakat.

Gilang Agung Persada juga masih memasarkan brand produk fashion maupun aksesoris lainnya, seperti Casio, Guess, VNC, Lasenza, Nautica dan lainnya.

Hide Ads