50 Toko Ritel Ramai-ramai Tutup, Ada Apa?

50 Toko Ritel Ramai-ramai Tutup, Ada Apa?

Trio Hamdani - detikFinance
Jumat, 05 Jan 2018 08:26 WIB
50 Toko Ritel Ramai-ramai Tutup, Ada Apa?
Foto: Dok
Jakarta - Pengusaha memperkirakan akan ada 50 gerai ritel yang tutup tahun ini. Mereka akan mengubah format bisnisnya.

"Kalau kita pakai angka, mungkin di 2017 sekitar 30 toko-40 toko, maka tahun 2018 ini ada kemungkinan bisa lebih banyak sedikit. Bisa sekitar 40-50 toko yang akan relokasi sama reformat bisnisnya," kata Ketua Umum Aprindo Roy Mandey ketika dihubungi detikFinance, Rabu (3/1/2017).

Roy mengatakan, Ritel-ritel tersebut tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Namun angka tersebut baru prediksi awal, sebab dia mengatakan Aprindo belum melakukan rapat seluruh anggota (pleno).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini bagian dari satu tantangan yang harus dilewati, harus dilakukan solusinya untuk tetap penuhi harapan konsumen. 40-50 toko itu termasuk toko-toko yang di mal, tenant-tenant di mal," lanjut Roy.

Dia juga menerangkan kalau tutupnya sejumlah gerai ritel pada tahun lalu, khususnya yang terdaftar sebagai anggota Aprindo lebih dikarenakan relokasi dan reformat gerai. Disebutnya, 80% penutupan karena relokasi, sementara 20% karena ingin merubah format bisnis.

Berikut selengkapnya.

Apa Alasan 50 Gerai Tutup?

Foto: Dok
Pengusaha ritel pada 2018 ini harus memutar otak agar tak kalah saing dan berguguran seperti tahun lalu. Sebut saja 7-Eleven, Lotus, hingga Debenhams, yang tahun lalu harus hengkang dari Indonesia karena tertekan berbagai faktor.

Ditambah, Matahari dan Ramayana juga menutup sejumlah gerainya di beberapa daerah.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan, saat ini konsep yang cocok diterapkan oleh pebisnis ritel adalah mixed use atau campuran karena melihat pola konsumsi masyarakat yang berubah itu.

"Bisnis modelnya menjadi ada macam-macam, tidak hanya department storeatau hypermarket aja, tapi juga ada kuliner, ada food court, ada entertainment-nya," katanya.

Dikatakannya, sejumlah ritel diperkirakan akan tutup tahun ini, tapi itu bertujuan untuk mengubah konsep bisnis.

"Tahun ini melihat dampak dari yang 2017 ini kelihatannya 2018 juga ini akan menjadi hampir sama akan ada beberapa lokasi yang tokonya harus tutup dulu untuk dipindahkan ke lokasi yang baru. Itu pertama. Kemudian kalau pun ada penutupan lagi akan ada yang reformat lagi," jelasnya.

"Sekarang formatnya mungkin dengan ada beberapa yang mengecilkan atau downsize ukuran toko, kemudian karena di downsize ada yang kosong kan (space). Kosongnya itu ditambah dengan food court, kuliner atau ditambah dengan entertainment sehingga konsep yang mixed use dapat terjadi lebih optimal," tambah Roy.

Tuntutan Zaman Bikin Ritel Ubah Format

Foto: Dok
Apa sih keunggulan ritel berkonsep mixed use dibandingkan ritel biasa?

Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengatakan, konsep mixed use pada ritel merupakan tuntutan zaman, yang mana perilaku konsumen sudah berubah. Dengan konsep mixed use yang diusung oleh ritel diyakini mampu memenuhi kebutuhan konsumen.

"Kalau konsep mixed use artinya peritel sudah coba mengikuti sesuai perkembangan zaman. Perkembangan zaman di mana sekarang masyarakat atau konsumen itu tidak hanya ingin belanja," katanya.

Kata Roy, sekarang ini masyarakat berkunjung ke tempat-tempat berbelanja bukan sekadar untuk membeli barang saja. Mereka ingin mendapatkan pengalaman lebih dengan mendatangi tempat berbelanja.

"Mereka ingin juga menikmati makan, minum atau kalau ada entertainment-nya mereka juga ajak anak mereka dikasih entertainment. Nah, jadi konsep mixed use itu adalah konsep terpadu sebenarnya yang berada pada satu kawasan atau satu lokasi," lanjutnya.

Dia menilai hal itu harus mulai dipertimbangkan oleh pelaku usaha ritel jika ingin tetap eksis saat ini.

"Kita lihat sekarang mal-mal rame dikunjungi, hampir 70%-75% itu datang untuk makan dan minum, sekaligus atau juga nonton bioskop, atau anak-anaknya bermain di area entertainment keluarga," ujarnya.

Butuh Modal Berapa?

Foto: Muhammad Idris
Dengan perubahan format bisnis dari ritel biasa menjadi ritel mixed-use atau campuran nanti di dalamnya bakal banyak fasilitas mulai dari hiburan hingga kuliner.

Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengatakan modalnya cukup signifikan antara membangun ritel biasa yang sekadar untuk berbelanja barang dengan toko ritel mixed use. Bedanya bisa 3 kali lipat.

"Katakanlah contohnya department store itu mungkin bisa sekitar angka Rp 30 an miliar untuk 1 toko. Kalau mixed use bisa 3 kalinya, atau 2-3 kalinya," sebutnya.

Besarnya modal untuk membuat ritel berkonsep mixed use lantaran kebutuhannya lebih banyak, meliputi layanan hiburan hingga kuliner.

"Karena kan kita mesti sediakan sarana dan prasarana juga kan. Jadi untuk pengadaan bioskopnya, tempat bioskopnya, tentu kan akan menyewa kan," papar Roy.

"Kan peritel ada yang memiliki perusahaan sinema, ada juga yang tidak memiliki perusahaan sinema kan. Jadi tentu kalau yang tidak punya harus menyiapkan saranannya kan untuk bioskop bisa masuk. Kemudian tempat bermain anak-anak ya. Jadi itu agak lumayan karena itu kan perlu di persiapkan," tambahnya.

Apa Bedanya Mal dan Toko Ritel Berformat Baru?

Foto: Muhammad Idris
Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengatakan, baik mal maupun toko ritel berkonsep mixed use secara garis besar mirip. Keduanya sama-sama memiliki area hiburan dan kuliner.

Sarana hiburan ini biasanya meliputi bioskop dan area permainan. Sementara kuliner, ada semacam tempat makan dan minum.

"Kalau di mal kan sudah pasti masuk di dalamnya ya (area kuliner dan hiburan), tapi kalau peritel yang tidak di dalam mal, stand alone misalnya, mereka mulai mereformat bisnis dengan cara melakukan tambahan services dengan mixed use itu. Jadi mixed-use itu konsep terintegrasi dan terpadu," kata Roy.

Dia mengatakan bahwa masing-masing memiliki pangsa pasarnya sendiri-sendiri. Hanya saja ritel mixed use dinilai memiliki keunggulan dibandingkan mal karena letaknya yang dekat dengan tempat tiinggal masyarakat. .

"Hari-hari biasa ya kalau dilihat animo konsumen ya dengan macet dan lain sebagainya mereka ingin yang terdekat saja. Jadi akan punya segmen masing-masing lah mestinya," jelasnya.

Roy mengatakan kalau pihaknya menyerahkan ke konsumen untuk memilih antara mal maupun toko ritel mixed use.

"Saya pikir enggak ada masalah karena justru konsumen yang akan menentukan. Jadi biasanya kan itu yang mal-mal yang besar itu kan ramai dikunjungi biasanya juga hanya hari-hari libur kan. Kalau hari-hari biasa konsumen udah jarang ke mal juga," tambahnya.

Halaman 2 dari 5
(zul/ang)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads