Pengusaha menilai, jebloknya kinerja ekspor nasional 2017 dibanding negara tetangga tak bisa sepenuhnya dilimpahkan pada satu kementerian saja.
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menilai, pelemahan kinerja tersebut dari negara tetangga disebabkan oleh program industrilisasi di beberapa kementerian sama sekali tidak berjalan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Ekspor Indonesia VS Negara Tetangga |
Bahlil memberi contoh di sektor perikanan dan kelautan. Sektor ini menjadi tanggung jawab Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Peta jalan industrilisasi perikanan hingga saat ini belum jelas. Bahlil mengatakan, industri perikanan Indonesia semestinya dapat menjadi andalan ekspor nasional.
"Namun saat ini kita sudah tertinggal jauh dari Vietnam. Padahal lautan negara tersebut tak seluas Indonesia. Sepanjang 2017, mampu mengekspor ikan dan olahannya senilai US$ 8,3 miliar sedangkan Indonesia hanya separuhnya," ujar dia.
Hal serupa terjadi di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). "Di kementerian ini aturan setiap bulan berubah membuat investasi kelistrikan melemah sehingga pasokan listrik industri mengalami defisit. Listrik yang ada habis diserap oleh konsumsi rumah tangga. Cari listrik untuk bangun coldstorage ikan sekarang susah sekali karena listrik habis untuk kejar rasio elektrifikasi," ujar dia.
Tak hanya di kedua kementerian itu, di kementerian lainnya juga semangat mempersulit pengusaha masih terjadi dimana-mana. Bahlil mengatakan, sebenarnya selain industrilisasi dan meningkatkan ekspor barang olahan, pemerintah juga dapat mendorong peningkatan produksi komoditas-komoditas pertanian, perkebunan untuk diekspor.
Namun, peningkatan produksi komoditas-komoditas tersebut mesti dilakukan oleh Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian ESDM.
Bahlil menilai, peringatan Presiden tersebut ditujukan untuk semua menteri-menteri terkait, tak hanya untuk Menteri Perdagangan.
"Mendag tidak punya kewenangan penuh di wilayah produksi dan industri. Mendag hanya membantu kementerian lain dengan mengeluarkan kebijakan perdagangan yang pro ke industri dalam negeri," pungkas Bahlil.
Bahlil mengingatkan daya saing industri nasional saat ini sangat lemah. Kondisi itu diperlemah oleh kurang kondusifnya iklim investasi yang disebabkan oleh carut-marut regulasi-regulasi baru ditingkat kementerian maupun di pemerintah daerah.
Padahal, Indonesia telah memiliki momentum untuk meningkatkan investasi langsungnya setelah mencapai status investment grade tahun lalu.
"Menteri-Menteri tidak ikut semangat paket deregulasi Bapak Presiden. Saya juga heran kenapa," ujar Bahlil.
Bahlil mengingatkan, moncernya kinerja ekspor beberapa negara tetangga di Asean, sebab negara-negara tersebut melakukan perbaikan iklim investasi secara sistematis dan terstruktur.
"Sehingga investor ke sana tidak dibikin susah, tapi dilayani secara paripurna," pungkas Bahlil.
Sebelumnya, Jokowi menyebut ekspor Indonesia pada 2017, yang mencapai US$ 145 miliar, masih kalah dengan Thailand yang mencapai US$ 231 miliar, Malaysia US$ 184 miliar, dan Vietnam yang mencapai US$ 160 miliar.
"Negara sebesar ini kalah dengan Thailand. Dengan resources dan SDM yang sangat besar, kita kalah. Ini ada yang keliru dan harus ada yang diubah," kata Jokowi, saat pidato pembukaan rapat kerja Kementerian Perdagangan 2018, di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 31 Januari 2018. (dna/dna)











































