Defisit yang terjadi berturut-turut ini dianggap perlu perhatian oleh pemerintah. Pasalnya jika defisit terjadi lagi maka akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I 2018.
Berikut fakta seputar defisitnya neraca perdagangan RI:
Penyebab Defisit
|
Foto: Grandyos Zafna
|
"Neraca perdagangan defisit tipis dibandingkan Januari. Tapi perlu perhatian karena sudah 3 bulan berturut-turut. Ini jadi warning untuk kita," kata Suhariyanto dalam konferensi pers di Gedung BPS, Kamis (15/3/2018).
Dia mengaku optimis pada Maret akan ada perbaikan defisit. Ini karena meskipun defisit secara berturut-turut namun jumlah defisit terus menurun. "Saya harap jangan defisit lagi lah, kita punya waktu satu bulan lagi agar ekonomi Indonesia tidak ketarik ke bawah. Mudah-mudahan ekspor impor ini bisa mendorong (pertumbuhan ekonomi) selain investasi," jelas dia.
Dia menjelaskan untuk mengurangi jumlah defisit pemerintah harus meningkatkan ekspor. Caranya dengan memperluas pasar ekspor non tradisional. Selain itu harus dibenahi barang ekspor, yakni tidak mengirimkan barang mentah namun harus barang yang sudah diolah.
"Yang harus dibenahi adalah bahan mentah harus dihilirisasi, kalau tidak akan tertinggal dengan negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam," ujar dia.
Dari data BPS defisit neraca perdagangan pada Januari 2018 tercatat US$ 756 juta, pada Februari turun menjadi US$ 116 juta.
Volume perdagangan, neraca volume perdagangan Indonesia mengalami surplus 32,12 juta ton pada Februari 2018. Hal tersebut didorong oleh surplusnya neraca sektor nonmigas 32,57 juta ton, namun neraca volume perdagangan sektor migas defisit 0,46 juta ton.
Barang Konsumsi Sumbang Defisit
|
Foto: Grandyos Zafna
|
"Memang untuk barang konsumsi ada kenaikan, karena kita tau ada impor beras yang dilakukan setengah juta ton," kata Suhariyanto.
Dari data BPS, beras impor yang masuk ke Indonesia selama Februari 2018 tercatat 272.898 ton atau setara dengan US$ 130 juta. Kemudian untuk impor beras konsumsi yang melalui Perum Bulog tercatat 230.000 ton terdiri dari beras Thailand 120.000 ton sebesar US$ 56,6 juta dan Vietnam 110.750 ton atau sebesar US$ 51,57 juta.
Dia menjelaskan, selain impor barang yang turut mengerek nilai adalah pesawat latihan atau aeroplane sebesar US$ 27,8 juta. Kepala Subdirektorat Impor BPS, Rina Dwi Sulastri mengatakan, impor aeroplane terjadi secara musiman.
Menurut dia, impor ini terjadi untuk pertama kalinya tahun ini. "Seasonal (musiman) saja Februari tahun lalu kan tidak ada," ujar dia.
Karena adanya hari raya imlek, impor jeruk Mandarin tercatat mengalami peningkatan menjadi US$ 19,8 juta pada Februari 2018 naik 38,8%. Namun jika dibandingkan Februari 2017 lalu sebesar US$ 12,1 juta.
Kemudian, disebutkan impor bom, seperti granat dan torpedo selama Februari 2018 tercatat US$ 18 juta naik 86,67% dibanding periode yang sama bulan lalu US$ 2,4 juta. Begitu juga dengan tank atau alat perang lainnya US$ 21,2 juta, naik 95% dari Februari 2017 yang hanya sebesar US$ 0,2 juta.
Masih Sejalan dengan Pertumbuhan Ekonomi
|
Foto: Grandyos Zafna
|
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman menjelaskan, defisit pada neraca perdagangan tidak terlepas dari peningkatan kegiatan produksi dan investasi, sejalan dengan berlanjutnya perbaikan ekonomi domestik.
"Ke depan, kinerja neraca perdagangan diperkirakan terus membaik seiring berlanjutnya pemulihan ekonomi dunia dan harga komoditas global yang tetap tinggi," kata Agusman.
Dia menjelaskan perkembangan tersebut akan mendukung perbaikan prospek pertumbuhan ekonomi dan kinerja transaksi berjalan.
BI menyebutkan meskipun defisit namun angkanya membaik yakni US$ 0,12 miliar dari periode Januari 2017 sebesar 0,76 miliar.
Perbaikan angka defisit ini disebutkan terjadi karena defisit neraca dagang migas yang menurun. Dengan perkembangan tersebut, secara kumulatif Januari-Februari 2018, neraca perdagangan Indonesia tercatat defisit 0,87 miliar dolar AS.
RI Kurang Produktif
|
Foto: Grandyos Zafna
|
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menjelaskan ini menunjukan fakta bahwa utang yang ditarik pemerintah tak cukup membantu.
Dia bilang, jika utang menghasilkan sesuatu yang produktif, maka seharusnya neraca perdagangan tak mengalami defisit karena ekspor Indonesia justru tak menunjukkan hasil yang menggembirakan.
"Jadi kan utang itu produktif atau tidak bisa dilihat apakah utang itu dipakai untuk belanja atau investasi. Kalau buat belanja investasi, itu kan memberi stimulus fiskal. Misalnya ketika pemerintah bangun infrastruktur dari utang, itu akan jadi daya tarik investasi. Kalau investasi tumbuh, berarti akan tumbuh sektor riil. Itu yang akan kembali menyumbang pajak. Jadi mestinya dengan adanya peningkatan utang, tax ratio meningkat. Kalau tax ratio meningkat, mestinya keseimbangan primernya (defisit APBN) tidak semakin defisit," katanya kepada detikFinance saat dihubungi, Kamis (15/3/2018).
Menurut Enny, pertumbuhan investasi yang meningkat harusnya berdampak kepada sektor riil yang meningkat. Sektor riil yang meningkat diyakini bisa memberikan dampak kepada ekspor yang meningkat.
Namun ternyata hasilnya sejauh ini malah menunjukkan ketergantungan akan impor yang semakin meningkat. Pertumbuhan investasi di Indonesia juga tak cukup mentereng jika dilihat dari defisit primer (APBN) yang saat ini terus melebar.
Seperti diketahui, pemerintah sejak 2012 terus mengalami defisit primer dalam APBN. Kondisi tersebut sampai saat ini bahkan masih berlangsung di APBN 2018, di mana defisit anggaran mencapai Rp 37,4 triliun per akhir Januari 2018 atau 11,4% dari asumsi APBN 2018 yang sebesar Rp 325,9 triliun.
"Yang terjadi, kita semakin tergantung kepada barang-barang impor. Ekspor kita masih tergantung ke komoditas. Artinya tidak ada peningkatan investasi kalau masih hanya mengandalkan ekspor komoditas yang sudah dilakukan sejak 70 tahun kita merdeka. Artinya tidak ada efektifitas dari belanja pemerintah yang dibiayai utang tadi," pungkasnya.
Halaman 2 dari 5











































