-
Di balik sosoknya sebagai Ketua Himpunan Pengusaha Indonesia (HIPMI), Bahlil Lahadalia ternyata memiliki segudang cerita menarik sebelum bisa sukses menjadi pengusaha seperti sekarang ini.
Bahlil, seorang anak miskin asal Fafak Papua mengawali karir dari titik nol sebelum menjadi pengusaha. Pria kelahiran 7 Agustus 1976 ini banyak belajar mengenai sulitnya hidup.
Beragam profesi kalangan bawah pernah ia coba. Bahlil pernah menjadi tukang kue, kernet, sopir angkot, hingga kuli di pasar. Dari situ, Bahlil bertekad untuk lepas dari jeratan kemiskinan. Dia merintis usaha hingga jadi pengusaha besar.
Kisah Bahlil itupun diceritakan langsung kepada detikFinance. Bagaimana dia yang terlahir dari keluarga miskin, hingga bisa mengubah nasibnya seperti sekarang dengan memiliki banyak perusahaan.
Pahit getir kehidupan pernah dirasakan Putra Papua ini. Mulai dari penjual kue saat masih di sekolah dasar, sopir angkot, hingga kuli panggul pasar saat kuliah. Semua itu dia kerjakan untuk bisa terus hidup.
"Itu terjadi bukan karena ingin, saya juga dulu nggak ingin jadi pengusaha. Tapi karena itu keterpaksaan. Karena memang keluarga saya itu, mamah saya itu kan laundry di rumah orang, pembantu rumah tangga. Bapak saya itu buruh bangunan, gajinya Rp 7.500/hari," cerita Bahlil kepada detikFinance, Jakarta, Kamis (19/4/2018).
Bahlil yang lahir dari keluarga serba keterbatasan itu tak membuatnya pantang menyerah. Bahkan keinginannya untuk mengenyam pendidikan hingga bangku kuliah pun dia lakukan seorang diri.
Dari Fakfak, dirinya pergi ke Jayapura menggunakan Kapal Perintis, hanya untuk bisa berkuliah. Dengan bermodal ijazah, SIM, serta pakaian seadanya, Bahlil mengadu nasib untuk bisa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Port Numbay di Jayapura.
"Jadi saya waktu berangkat kuliah itu orang tua nggak pernah tahu, bahwa saya itu kuliah. Karena saya itu hanya berangkat dan bawa ijazah, baju saya cuma tiga, kemudian modal saya cuma SIM, dan kantong kresek, saya naik Perintis, dari Fakfak ke Jayapura," jelasnya.
Setelah lulus kuliah, Bahlil bekerja di konsultan keuangan di Jayapura yang didirikannya bersama teman-teman.Pada saat itu lah Bahlil mengaku pertama kali dirinya bisa mendapatkan uang yang sangat besar semasa hidupnya. Karena kecakapannya dalam memimpin, di umur 25 tahun Bahlil telah bisa mendapat gaji hingga Rp 35 juta/bulan.
"Gaji saya waktu itu Rp 35 juta. Karyawan saya hampir 70 orang, dan rata-rata karyawan saya itu adalah orang keuangan, ada yang tamatan UGM, ada yang tamatan yang di IT, juga tamatan Jerman, tapi karena peta lapangannya saya yang kuasai, jadi saya yang ditunjuk oleh teman-teman di Jakarta untuk menjadi pimpinan cabang di sana," ujarnya.
Mulai dari sana lah, kemudian Bahlil bisa mengembangkan pengetahuan bisnis serta melebarkan sayapnya hingga sekarang ini. Saat ini, pria asal Fakfak, Papua itu telah menjadi seorang pengusaha sukses, bahkan menjadi Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI).
Gaji puluhan juta yang diterimanya itu tak membuatnya puas untuk bisa mengembangkan karir bisnisnya. Baru setahun mendapatkan gaji Rp 35 juta, Bahlil memilih keluar dan kembali mencoba peruntungan kembali dengan membuat perusahaan baru.
"Satu tahun itu saya bisa memberikan profit kepada perusahaan waktu itu Rp 10 miliar lebih. Itu profit, bukan omzet. Setelah itu saya mengundurkan diri," kata Bahlil.
"Saya mundur dari perusahaan itu, kemudian saya memberikan perusahaan pada teman-teman mereka yang lanjutkan. Saya mencoba untuk membangun perusahaan yang lain lagi, yang tidak di bidang yang saya bangun itu," sambungnya.
Keputusan Bahlil untuk keluar dari zona nyamannya itu bikin teman-temannya heran, bahkan oleh sang kekasih yang kini jadi istrinya. Bahlil juga dianggap gila karena keputusannya itu.
"Banyak teman-teman yang bilang saya gila, hidup saya sudah aman nyaman, kok bisa mengambil resiko yang pada akhirnya jadi 'monyet' lagi, itu kan teman teman kuliah saya bekerja sebagai hina saya. Dan teman-temanku yang mengatakan saya gila," kata dia.
"Termasuk istri saya sekarang. Dulu itu hampir putus gara-gara saya jadi gembel lagi. Jadi harusnya gaji saya Rp 35 juta, buat dia ekspektasinya sudah cukup begitu loh, hidup mewah nggak, menderita nggak, cukup," tambahnya.
Walau begitu, Bahlil tetap memutuskan untuk membuat perusahaan bermodal penghargaan berupa dividen saham yang diterima dari perusahaan sebelumnya. Dia mendapat uang sebesar Rp 600 juta karena telah berjasa memberi keuntungan pada perusahaan sebelumnya.
Dalam menjalani hidup, Bahlil mengatakan telah merasakan getirnya hidup sebagai orang miskin. Bahkan, dia mengaku pernah mengalami busung lapar karena kekurangan gizi makanan saat duduk di bangku kuliah.
"Saya pernah busung lapar, semester 6 saya busung lapar. Asli busung lapar. Jadi penderitaan yang benar-benar paling menderita itu saya rasain," katanya.
Saat itu, Bahlil mengatakan dirinya harus bersusah payah untuk bisa membiayai kuliahnya sendiri serta untuk mencari makan. Untuk itu, dia pun mengerjakan berbagai pekerjaan yang bisa dijalani, seperti kuli angkut di pasar.
Sebab, Bahlil tak pernah mendapatkan kiriman baik uang ataupun makanan selama kuliah dan berada di asrama dia tinggal. Untuk itu, dia terus mengakali hidupnya agar bisa bertahan hidup.
"Jadi belanjanya itu kalau dapat duit beli beras, kita makannya itu setengah nasi, setengah bubur. Kenapa? supaya dapat banyak. Kalau beras sudah habis, itu kami sarapan pagi pakai mangga, mangga buah, mangga muda yang jatuh di samping asrama, itu yang saya makan. Makanya saya pernah sakit busung lapar," cerita dia.
Berawal dari penyakit busung lapar yang dideritanya itulah, Bahlil kemudian bertekad untuk memutus urat miskinnya dengan menjadi pengusaha.
Bahlil adalah Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Bahlil berhasil mengubah hidupnya dari seorang anak miskin menjadi pengusaha besar. Meski begitu, dia enggan menyebut dirinya sudah sukses.
"Kesuksesan itu relatif, dan saya tidak pernah merasa sukses. Biarlah orang yang menilai, tapi saya selalu punya prinsip hidup itu, belajar, belajar, dan belajar, serta kerja dan harus sukses. Jadi kerja keras, kerja cerdas, dan kerja Ikhlas, itu orientasi sama dengan ibadah," kata Bahlil.
Menurut Bahlil, dengan bekerja secara ikhlas setiap orang tidak akan pernah rugi. Yang terpenting baginya, kesuksesan tersebut diraih dengan cara yang baik dan ikhtiar.
"Kalau kita kalau kita bekerja ikhlas, itu kalau kita tidak dapat profit di dunia, kalau ikhlas dan bermanfaat untuk orang, InsyaAllah profit kita akan diterima di akhirat sebagai bentuk amal ibadah," ujarnya.
Dia juga mengatakan, bahwa ukuran sukses baginya bukan hanya sekadar soal uang dan materi. Sebab menurutnya, uang dan materi hanyalah sebuah fasilitas yang bisa dimanfaatkan semasa hidup di dunia.
"Bagi saya duit itu bukan tujuan hidup, itu bagi saya ya. Orang semua butuh duit, tapi duit bukan tujuan hidup, duit adalah fasilitas hidup," ucap Bahlil.
Di balik kesuksesan seseorang, biasanya ada peran yang selalu mendukung dan paling berjasa, begitu pun dengan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Bahlil Lahadalia.
Siapa yang paling berjasa dalam hidup Bahlil?
"Bapak dan mama saya!" kata Bahlil mantap saat berbincang santai dengan detikFinance.
Segudang pelajaran hidup telah Bahlil dapat dari kedua orang tuanya yang merupakan keluarga miskin. Pekerjaan ibunya yang merupakan pembantu rumah tangga dan sang ayah yang merupakan kuli bangunan, membuat Bahlil bisa banyak menghargai hidup dan usaha.
"Kerja keras saya itu, saya terinspirasi dari ayah saya. Ayah saya itu seorang buruh bangunan, dia mampu menyekolahkan anaknya 8 orang, dan semua sarjana. Gaji Rp 7.500 per hari, tapi dia bisa memberikan makan untuk semua anaknya. Dia kerja, sakit pun dia kerja," kenang Bahlil.
Rasa pantang menyerah serta tekad yang besar itulah yang Bahlil pelajari dari kedua orang tuanya.
"Dia (ayah saya) kerja tidak pernah mengeluh, begitupun mama saya. Jadi rasa tanggung jawab untuk kerja keras menghidupi anak-anaknya, itu tinggi sekali. Dan cara itu yang kemudian saya adopsi dalam bekerja," katanya.
Bahlil ingin agar semangatnya dalam berusaha bisa sama seperti sang ayah. Hal itu agar dirinya tak merasa gagal telah mendapatkan banyak pelajaran dari orang tua.
"Bagi saya yang berjasa paling besar, ya mama bapak saya. Yang selalu tidak henti-hentinya mengajari kami pada hal-hal yang ringan tapi prinsip," kata dia.