Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanian Ketut Kariyasa menjelaskan rata-rata harga gabah baik dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG) mengalami peningkatan di tingkat petani dan penggilingan dibanding Mei 2018. Harga GKP di tingkat petani naik 2,10% menjadi Rp 4.650/kg dan untuk GKG naik 1,78% menjadi Rp 5.361/Kg. Demikian juga di tingkat penggilingan, GKP naik 2,08% menjadi Rp 4.739/kg dan GKG naik 1,76% menjadi Rp 5.468/kg.
"Sementara itu, pada saat yang sama harga beras sebaliknya menurun yaitu 0,48% menjadi Rp 9.478/kg untuk beras premium, menurun 0,60% menjadi Rp 9.135/kg untuk beras medium, dan menurun 0,67% menjadi Rp 8.941/kg untuk beras kualitas rendah," ujar Ketut dalam keterangan tertulis, Rabu (4/7/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut ia mengatakan, pergerakan harga beras dan gabah yang berlawanan itu dapat dikaitkan dengan kinerja pasar beras yang menjadi lebih efisien. Hal itu, kata dia, dapat mengurangi margin pemasaran yang harus ditanggung. Ketut mencontohkan kehadiran program-program yang dilakukan Kementan seperti Toko Tani Indonesia (TTI) diyakini turut membuat kinerja pasar beras menjadi lebih efisien.
"Ini ditandai harga gabah di tingkat produsen menjadi membaik. Dan sebaliknya, harga beras di tingkat konsumen menjadi lebih murah," paparnya.
Menurut Ketut, perbaikan tata niaga pertanian berkontribusi pada perbaikan kesejahteraan di tingkat petani sekaligus perbaikan harga di tingkat konsumen. Sementara itu dampak dari membaiknya kinerja pasar beras, dikatakan Ketut, paling tidak dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, membaiknya harga gabah turut menyebabkan membaiknya kesejahteraan atau daya beli petani, yang terlihat dari naiknya NTP sebesar 0,05% menjadi 102,04 dan NTUP naik 0,12% menjadi 111,51.
"Kedua, menurunnya harga beras tentu saja menyebabkan jumlah penduduk miskin baik di perkotaan dan perdesaan akan menurun, mengingat sampai saat ini pangan beras masih merupakan penyumbang terbesar pada pembentukan garis kemiskinan," ungkap Ketut.
Dia juga mengutip data BPS September 2017 yang menyebut bahwa kontribusi beras terhadap garis kemiskinan di perkotaan masih sekitar 18,8%. Bahkan di pedesaan lebih besar mencapai 24,52%. Hal itu turut menyebabkan daya beli konsumen terhadap beras meningkat.
"Dengan adanya penurunan harga beras tersebut menyebabkan daya beli konsumen terhadap pangan beras meningkat, sehingga tentunya akan memberikan dampak yang besar terhadap penurunan jumlah penduduk miskin," sambung Ketut.
Menurunnya jumlah penduduk miskin ini, Ketut menambahkan, sejalan dengan apa yang sedang diupayakan oleh Pemerintah Jokowi-JK, di mana pada tahun 2018 diharapkan jumlah penduduk miskin secara nasional tinggal di bawah 10%. Selain melalui program pembenahan rantai pasok melalui TTI, meningkatkan pasokan pangan dari produksi dalam negeri melalui program Upsus Pajale.
"Pada tahun ini Kementan juga sedang menginisiasi Program Bedah Kemiskinan Rakyat Sejahtera Berbasis Pertanian atau yang dikenal BEKERJA yang sangat relevan dengan upaya ini sebagai solusi permanen mengentaskan masyarakat pedesaan dari kemiskinan," tutup Ketut. (ega/hns)











































