Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro mengatakan pada dasarnya ada tujuh produk yang masuk ke dalam daftar GSP, salah satunya adalah pertanian.
"Produk pertanian sebesar 6,3%, bahan bakar 29,1%, elektronik dan transportasi 20,4%, bahan kimia, plastik dan kertas sebesar 16,0%, perhiasan dan produk kaca 13,4%, serta barang berbasis metal 12,1% dan tekstil 2,7%," jelasnya dalam data Kementerian Pertanian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diragkum detikFinance, Selasa (17/7/2018) begini fakta-fakta potensi kerugian Indonesia:
1. Surplus Perdagangan dengan AS, Ini Daftar Barang RI
Foto: Agung Pambudhy
|
Selain itu ada pula, bahan kimia, plastik dan kertas sebesar 16,0%, perhiasan dan produk kaca 13,4%, barang berbasis metal 12,1% dan tekstil 2,7%. Dari fasilitas tersebut, sektor pertanian Indonesia ternyata telah mencatat surplus sebanyak US$ 2.573,9 juta di tahun 2015.
"Indonesia telah menikmati sekitar US$ 164,5 juta dari keseluruhan total nilai impor Amerika dalam kerangka program GSP. Untuk komoditas pertanian yang mencapai sebesar US$ 2.573,9 juta pada tahun 2015," katanya dikutip dalam data Kementan.
Sementara itu, produk pertanian yang telah memanfaatkan fasilitas GSP, yakni kopi, nanas dan nanas olahan, serta lada dan olahan cabai.
Sedangkan komoditas lainnya, seperti karet, kelapa sawit, kakap, kelapa, kayu manis, vanili dan kacang mede hanya mendapatkan tarif 0% tanpa adanya fasilitas GSP.
2. Potensi Kehilangan Hingga US$ 164,5 Juta/Tahun
Foto: Rachman Haryanto
|
"Hilangnya pasar bagi sejumlah komoditas berbasis pertanian Indonesia senilai tidak kurang dari US$ 164.5 juta per tahun," katanya dikutip dalam data Kementerian Pertanian.
Selain itu, ia menilai bakal ada potensi kerugiaan lainnya akibat tertutupnya peluang bagi sejumlah komoditas pertanian yang potensial memanfaatkan fasilitas GSP.
Lebih lanjut, ia memaparkan dampak produk pertanian dalam bentuk yang mentah tidak akan signifikan. Pasalnya, sebagian besar produk tersebut tergolong dalam prinsip Most Favoured Nation (MFN) yang besarannya nol.
"Dampak bagi produk pertanian dalam bentuk mentah tidak akan terlalu signifikan mengingat besaran MFN yang ditetapkan Amerika untuk produk-produk tersebut sebagian besar sudah nol," ungkapnya.
3. AS Sudah Berikan Perlukan Khusus Impor Barang ke RI Sejak 1976
Foto: Rachman Haryanto
|
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro GSP merupakan program yang digagas Amerika sebagai salah satu cara mendorong perekonomian negara-negara berkembangan, yakni dengan menerapkan bea masuk bebas tarif.
Aturan tersebut dilakukan kepada 3.400 produk dari 131 negara atau wilayah yang ditetapkan oleh Amerika.
"Pemberian perlakuan bebas tarif terhadap 3.400 produk dari 131 negara atau wilayah yang ditetapkan melalui kebijakan Amerika, termasuk di dalamnya 42 kelompok negara terbelakang (least developed countries)," ungkapnya dalam data Kementerian Pertanian.
Lebih lanjut, Syukur memaparkan program tersebut telah diberlakukan oleh Amerika pada 1 Januari 1976 melalui ketetapan Trade Act di tahun 1974 untuk pemberlakukan selama 10 tahun.
Terakhir, aturan tersebut di-update oleh Presiden George Bush pada tahun 2006 hingga 31 Desember 2008.
"Aturan tersebut telah di-update secara periodik dengan update terakhir tahun 2006, dimana Presiden Bush menandatangani dokumen pemberlakuan GSP hingga 31 Desember 2008," tutupnya.
4. Alasan AS Evaluasi Perlakuan Khusus Barang Impor RI
Foto: Ari Saputra
|
"Sebetulnya sejak 1-2 tahun lalu Amerika sudah warning defisit agak besar nih dia bikin list kita nomor 16. Nah dia mulai bilang kita mau evaluasi Indonesia, India dan Kazakhstan kalau tidak layak ya kita mau cabut GSP-nya," ungkapnya di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Dengan adanya kebijakan GSP atau Generalized System of Preferences (GSP), sejumlah produk ekspor Indonesia ke AS mendapat perlakuan khusus, misalnya diberikan tarif bea masuk 0%.
Darmin memaparkan, bila kebijakan tersebut dicabut maka barang ekspor dari Indonesia bisa terkena biaya yang lebih tinggi 10% hingga 25% dari yang sekarang ditetapkan. Selain itu, ekspor juga diprediksi turun hingga 40%.
"Kalau dia cabut kita ekspor garmen sepatu dan kakao kena biaya masuk bisa gede antara 10% hingga 25%. Ekspor ke sana untuk barang itu bisa turun 40% hingga 30%," terangnya.
Halaman 2 dari 5