Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengatakan pergerakan kurs rupiah juga dipengaruhi oleh pasar uang berjangka di luar negeri (offshore). Karena itulah, ekspektasi pemerintah maupun regulator di bidang moneter bisa juga dipengaruhi oleh kondisi di pasar tersebut.
"Nilai tukar rupiah di pasar spot dipengaruhi oleh ekspektasi di pasar uang berjangka luar negeri, terutama di pasar forward untuk jangka waktu 1 bulan," ujar Arif dalam keterangannya, Jumat (7/9/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Indonesia, transaksi pasar berjangka atau kontrak non deliverable forward (NDF) telah dilarang oleh Bank Indonesia. Dengan demikian, transaksi berjangka tersebut bergerak atau pindah ke bursa di luar negeri.
Berdasarkan kondisi itu, pergerakan rupiah harus dipahami sebagai sebuah komoditas yang diperdagangkan, bukan sekadar mata uang sebagai alat pertukaran. Untuk itulah, kemungkinan terjadinya spekulasi sangat tinggi. Nilai yang dipatok dalam pasar uang berjangka tersebut sering kali terjadi sehingga membuat pergerakan rupiah semakin liar.
Lebih lanjut ia menjelaskan, transaksi rupiah di pasar uang berjangka luar negeri disebabkan karena ketersediaan instrumen perdagangan valuta asing yang sangat sedikit. Bank sentral hanya memiliki opsi hedging dan swap.
"Ini juga menjadi pemicu karena tidak difasilitasi dalam negeri sehingga tidak bisa menyentuh transaksi tersebut dan karena uang ini komoditas," ucap Arif.
Menurut Arif hal tersebut bisa tidak terjadi apabila ada koordinasi antarbank sentral. Para bank sentral harus lebih ketat dalam mengatur kontrak NDF. Terlebih adanya dugaan manipulasi kontrak NDF di pasar uang berjangka.
Apalagi, jika dilihat dari Real Effective Exchange Rates (REER), nominal nilai tukar rupiah pada akhir Juli 2018 terdepresiasi sebesar 7,5%. Namun, nilai tukar efektif riil rupiah sebenarnya menguat sekitar 2,7% relatif terhadap seluruh mitra dagang Indonesia.
REER adalah indikator untuk menjelaskan nilai mata uang suatu negara relatif terhadap beberapa mata uang negara-negara lainnya yang telah disesuaikan dengan tingkat inflasi pada tahun tertentu atau indeks harga konsumen negara tertentu.
Jika mengacu pada data itu pergerakan rupiah tidak seburuk nilai tukar negara-negara peer seperti India, Malaysia, Filipina, maupun Thailand.
"Kita sempat lebih hebat dari Malaysia, rupiah menguat terhadap ringgit. Akan tetapi karena faktor yang tidak diperhitungkan seperti kontrak NDF tersebut akhirnya pergerakan rupiah terus menerus terdepresiasi," jelasnya.
Sebagai informasi tambahan, berdasarkan data Bloomberg, rupiah dibuka di level Rp 14.868 pada pembukaan perdagangan hari ini, menguat 0,16% dari posisi penutupan perdagangan kemarin, Kamis (6/9/2018) di level Rp 14.893. (mul/mpr)











































