Pedagang yang tak berani menaikkan harga terpaksa menurunkan ukuran tempe. Sandi bahkan mengibaratkan tempe yang ukurnnya makin mengecil, disebut sudah setipis kartu ATM. Benarkah demikian?
Untuk membuktikan hal tersebut, detikFinance mengunjungi Kampung Tempe yang terletak di Kelurahan Sunter Jaya, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (9/9/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tempat ini merupakan sentra perajin tempe, di mana kebanyakan warganya menggantung hidup dari berjualan produk dari bahan baku kedelai ini.
Kampung Tempe wilayahnya tidak terlalu luas. Jalan masuk ke wilayah ini hanya 2-3 meter. Seketika masuk ke gapura bertuliskan Kampung Tempe, yang terlihat ialah aktivitas warga yang sedang memproduksi tempe.
Ada yang yang terlihat sedang menata tempe untuk proses penjamuran.
Ada yang terlihat sedang mencuci kedelai yang terlihat di sisi pintu belakang rumah warga. Ada juga yang proses produksinya telah selesai, sehingga tinggal memotong tempe yang sudah jadi.
Dari yang tempe yang sudah jadi, terlihat tempe-tempe ini berbentuk lonjoran. Lonjoran itu tersebut dipotong-potong untuk kemudian siap untuk dijual ke pasar maupun warung-warung terdekat.
Istilah tempe setipis kartu ATM mungkin berlebihan. Namun kenyataannya, ukuran tempe di tingkat perajin memang semakin mengecil untuk mengimbangi kenaikan harga bahan baku.
Tempe yang dipotong itu memiliki volume yang berbeda-beda.
Salah seorang perajin bernama Hadi mengatakan, tempe produksinya ada yang memiliki panjang sekitar 30 cm dan tebal 10 cm. Lalu, ada yang ukurannya lebih kecil ialah panjang 30 cm dengan tebal 6 hingga 7 cm.
Dia mengatakan, untuk tempe sepanjang 30 cm dengan tebal 10 cm dijual dengan harga Rp 5.000.
Sementara, tempe panjang 30 cm dan tebal 7 cm dijual dengan harga Rp 4.000.
"Nggak berubah (harganya), kalau berubah kadang pembeli tanya kok kecil," ujarnya. (dna/dna)