Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal utang ini bisa menjadi masalah lantaran porsi dalam bentuk mata uang asing atau valas yang cukup tinggi.
Saat ini tercatat, utang dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 827,57 triliun, dan dari surat berharga negara (SBN) yang berdenominasi valas sebesar Rp 1.074,12 triliun. Artinya, jumlah utang dalam bentuk valas mencapai sekitar 1.901,69 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persentase utang Indonesia dibandingkan total Produk Domestik Bruto (PDB), katanya, memang masih lebih rendah dibandingkan banyak negara, yakni hanya 30%, sementara Jepang sudah 200%.
Cuma, yang membedakan ialah utang milik negara lain itu kebanyakan merupakan utang dalam negeri dengan mata uang negaranya sendiri. Oleh karena itu, jika terjadi tekanan eksternal seperti pelemahan nilai tukar tidak akan terpengaruh. Selain itu, utang yang bersumber dari dalam negeri lebih mudah ditangani.
"Utang dalam kondisi sekarang, Indonesia masalahnya proporsi utang luar negeri relatif tinggi dibandingkan banyak negara berkembang, bahkan negara maju seperti Jepang," sebutnya.
Bahayanya, dengan tingginya porsi utang luar negeri, jika terjadi tekanan nilai tukar rupiah, maka secara otomatis utang membengkak.
"Salah satunya yang signifikan pelemahan nilai tukar terutama utang luar negeri yang berdenominasi dolar. Dengan pelemahan rupiah otomatis juga dengan nilai utang yang sama tapi menjadi membengkak, karena kita bayarnya dari resources dari rupiah," tambahnya.
Tonton juga 'Defisit Menurun, Menkeu: Manajemen Utang Kita Makin Hati-hati':
(fdl/fdl)