-
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan mengeluarkan aturan untuk mengatur ojek online (ojol). Aturan tersebut akan dirilis pada Maret 2019 mendatang.
Ada beberapa poin penting yang diatur dalam regulasi ini antara lain menyangkut tarif, suspend, dan keselamatan.
Khusus tarif, pemerintah tidak akan mematok satu angka per kilometer (km). Pemerintah akan menerapkan tarif batas atas dan bawah sebagaimana taksi online.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiadi mengatakan, aturan ojek online keluar pada Maret 2019 atau sebelum pemilihan presiden (Pilpres) yang berlangsung pada 17 April 2019. Budi tak ingin aturan ojek online ini dikaitkan dengan aktivitas politik.
Dia bilang, pemerintah hanya ingin bekerja secara profesional untuk melindungi kepentingan semua pihak dan proses bisnis ojol.
"Saya tidak ke sana ya. Selalu saya katakan, saya mohon kepentingan-kepentingan yang lain, saya hanya profesional karena memang ingin melindungi kepentingan dan kemitraan yang baik dan proses bisnis ojek online ini," kata dia di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (10/1/2019).
"Jadi kalau ada pemikiran-pemikiran monggo silakan, tapi yang jelas saya jalan saja," ungkapnya.
Dia melanjutkan, aturan ini bakal terbit Maret karena banyak pekerjaan yang mesti diselesaikan Kemenhub. Apalagi, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi ingin segala pekerjaan selesai dengan cepat.
"Sebetulnya bukan masalah sebelum Pemilu, tapi Pak Menteri ingin kecepatan, kan tahu sendiri bagaimana kinerja Pak Menteri, etos kerja beliau. Kalau beliau saya akan begini, akan cepat, karena pekerjaan kita cukup banyak yang lain. Belum nanti menyangkut terminal, jembatan timbang kalau bisa satu per satu PR kita selesaikan," terangnya.
Budi Setiadi menerangkan, dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memang tidak mengatur sepeda motor sebagai angkutan atau transportasi umum.
"Itu juga yang kemarin diskusi oleh Pak Menhub dengan tim kecil bahwa kalau memang regulasi UU 22 2009 tentang Lalu Lintas Jalan, belum menemukan menyangkut permasalahan sepeda motor sebagai angkutan umum," kata dia.
Dia melanjutkan, terkait aturan ojol, pemerintah berlandaskan pada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dengan payung hukum ini, pemerintah bisa mengambil diskresi jika ada kegiatan di publik namun belum diatur.
"Dalam UU 30 Tahun 2014 dalam pasal 22 dalam ketentuan umum juga ada, menyangkut pasal diskresi menteri untuk membuat peraturan sepanjang, kegiatan di masyarakat sudah ada tapi belum ada aturannya. Berarti Pak Menteri bisa membuat aturan dengan Permen itu diperbolehkan dengan UU 30 tadi," terangnya.
Budi melanjutkan, dengan mengacu UU tersebut, bukan berarti pemerintah menjadikan ojol sebagai angkutan umum.
"Kita istilah saja, kalau dalam UU 22 memang tidak ada istilah sepeda motor angkutan umum, tidak ada," ujarnya.
"Dalam UU 30 2014 itu adalah menyangkut masalah diskresi, boleh Pak Menteri ini. Makanya yang dikatakan Pak Menteri, kita mengatur hanya sebagian saja, dimana heavy-nya lebih kepada sepeda motor berbasis aplikasi, itu saja, bukan berarti langsung sepeda motor sebagai angkutan umum. Ini supaya dibedakan, memang agak tipis, tapi kalau agak sensitif bisa memahami," jelasnya.
Budi Setiadi mengatakan, pemerintah belum mematok tarif dalam aturan ini. Saat ditanya angka idealnya, dia bilang tarif batas bawah ojol sekitar Rp 2.000-2.500 per kilometer (km) atau lebih rendah dari taksi online Rp 3.500 per km.
"(Idealnya?) Kalau itu (taksi online) Rp 3.500 mungkin bisa Rp 2.000-2.500," kata dia.
Dalam penetapan tarif, dia mengatakan, pemerintah memasukan berbagai komponen seperti investasi, operasional, BBM, dan servis.
"Tarif versi aplikator punya perhitungan, pengemudi harus seimbang dengan tingkat penyusutan kendaraan, bensin, kesehatan dan menyangkut yang lain," ujarnya.
Dia bilang, pemerintah tidak akan menetapkan satu angka tarif per km. Budi mengatakan, pemberlakuan tarif akan seperti taksi online yang terdiri dari batas bawah dan atas.
"Kita tidak akan mungkin menjadi satu, katakan mungkin per km, minimal tarif terendah dan teratas. Batas atas dan bawah, nanti berapa kita akan lakukan perhitungan," ujarnya.
Budi Setiadi mengatakan, pembekuan atau suspend ojek online akan diatur dalam peraturan ini. Dengan diatur, maka akan memberikan perlakuan yang adil bagi operator maupun pengemudi ojol.
"Yang menjadi isu saat ini, saat mereka ingin mendedikasikan pada profesinya membeli motor mobil sama taksi. Kemudian sudah tidak bekerja pada tempat lain, tapi karena persoalan yang dia tidak tahu dalam versinya pengemudi tiba-tiba di-suspend," jelasnya.
Supaya adil, maka perlu ada klarifikasi yang menilai apakah pengemudi melakukan kesalahan atau tidak. Menurut Budi, klarifikator mesti berasal dari lembaga yang independen.
"Harapannya adalah saat suspend ada klarifikasi. Nah kalau demikian perlu entitas semacam kelembagaan yang mungkin dalam kelembagaan itu independen, untuk menilai konflik antara pengemudi dan aplikator," ujarnya.
Lanjutnya, dengan adanya lembaga klarifikator, maka sopir yang dibekukan mengetahui kesalahannya. Klarifikasi yang dilakukan juga menjadi pertimbangan sanksi yang akan diterapkan pada pengemudi yang terindikasi nakal.
"Sehingga nanti saat di-suspend pengemudi sudah tahu permasalahan karena memang versi aplikator banyak pengemudi yang karena indikasi nakal, pidana. Ada beberapa tingkatan pelanggaran yang dilakukan pengemudi dari pidana mungkin rendah," ujarnya.
"Jadi nanti masing-masing ada suatu punishment berbeda, tidak karena tidak mengambil order di-suspend kalau yang pidana order fiktif mungkin bisa dilakukan suspend selain juga bisa dilaporkan ke Kepolisian," tutupnya.