Jika utang kerap dikritik oleh Prabowo, maka seperti apa seharusnya sikap pemerintah?
Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan utang sebenarnya bukan hal yang haram dalam pembiayaan. Namun yang perlu menjadi fokus adalah seberapa efektif utang tersebut bisa menunjang perekonomian suatu negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tingkat rasio utang di Indonesia yang termasuk tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya pun perlu diturunkan. Bhima bilang caranya dengan menggunakan utang yang ditarik untuk kegiatan yang lebih produktif.
"Ternyata utang yang diambil pemerintah sekarang ini habisnya lebih ke arah operasional birokrasi. Maka kebijakan pemerintah ke depannya bagaimana mengalokasikan uang dari pajak atau utang itu lebih banyak ke belanja modal sehingga belanja operasional seperti belanja pegawai dan barang itu dipangkas," katanya.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengurangi penarikan utang dalam bentuk valuta asing, khususnya dolar Amerika Serikat (AS). Terlebih pergerakan rupiah saat ini belum stabil menyusul kondisi ekonomi global yang penuh dengan ketidakpastian.
Sepanjang 2014-2018, porsi utang terbesar Indonesia adalah dari Surat Berharga Negara (SBN). SBN tersebut terbagi dalam dua jenis, yaitu denominasi rupiah, dan denominasi valas.
Utang dalam denominasi valas memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan jika dalam rupiah, karena fluktuasi nilai tukar dapat mempengaruhi besaran utang yang harus dibayar.
Tercatat SBN dalam denominasi valas tumbuh lebih kencang yaitu sebesar 121,42% dibanding SBN dalam denominasi rupiah yang tumbuh 76,43%. Terlebih lagi, porsi SBN dalam Denominasi Valas meningkat dari yang hanya 24% pada 2014, menjadi 28% di tahun 2018.
"Rupiah ini fluktuatif karena outlook globalnya nggak bagus. Jadi bagaimana kita bisa mengurangi ketergantungan utang terhadap mata uang dolar. Bisa memilih instrumen dalam negeri, menerbitkan utang dalam rupiah," katanya.
Pemerintah juga perlu mengurangi model pinjaman melalui penerbitan surat berharga. Hal ini kata dia berbeda dengan model pembiayaan melalui utang di era pemerintahan Presiden Soeharto.
"Porsi utang zaman Soeharto didominasi instrumen pinjaman bilateral atau multilateral seperti ADB atau World Bank. Di era bu Sri Mulyani getol sekali menerbitkan surat berharga yang otomatis harus dibayar dengan bunga paling mahal se-Asia. Jadi misi besarnya mengurangi porsi penerbitan utang dari surat berharga karena bunganya terlalu mahal, lebih baik ke pinjaman bilateral yang bunganya cuma 1-2%," ungkapnya. (eds/ara)