Belakangan ini, total utang pemerintah menjadi komoditas perdebatan yang paling banyak dibahas oleh masyarakat, terlebih lagi di musim politik seperti sekarang ini.
Jumlahnya yang mencapai ribuan triliun menjadi salah satu topik perdebatan. Dari posisi pemerintah mengatakan bahwa rasio utang pemerintah masih dikelola dengan aman. Namun, di pihak lain masih ada yang takut bahwa pemerintah tidak sanggup melunasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
BPN Sebut Tak Aneh Utang Pemerintah Naik Lagi
Foto: Rachman Haryanto
|
Dradjad menyebut, kenaikan jumlah utang pemerintah yang terus naik dikarenakan batas rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) serta APBN yang masih defisit.
"Melihat berbagai argumen pemerintah, memang tidak aneh jika utang pemerintah melonjak terus," kata Dradjad saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Minggu (24/2/2019).
Dradjad menjelaskan, rasio utang pemerintah dan defisit APBN diatur oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam Penjelasan Pasal 12 ayat 3 membatasi defisit APBN sebesar 3% PDB dan pinjaman pemerintah 60% PDB.
Rasio utang pemerintah yang saat ini 30,1% masih jauh dari batas yang ditetapkan UU.
Anggaran Bayar Utang Bebani APBN?
Foto: Rachman Haryanto
|
"Masalahnya, UU Keuangan Negara gagal melihat seberapa banyak pendapatan negara yang habis dimakan oleh pembayaran pokok dan bunga utang," kata Drajad saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Minggu (24/2/2019).
Untuk APBN 2018 misalnya, kata Drajad, sebesar 34% dari pendapatan negara habis untuk membayar utang, baik pokok dan bunganya. Pokoknya sebesar Rp 396 triliun dan bunganya sebesar Rp 247,6 triliun. Sementara pendapatan negara dalam APBN 2018 sebesar Rp 1894,7 triliun.
"Akibatnya, pembayaran utang memakan APBN jauh lebih besar dari belanja infrastruktur, pendidikan, kesehatan, atau dana desa," ujar dia.
"Itu yang saya sebut sebagai opportunity cost dari pembayaran utang. Itu harus dijadikan ukuran jika negara memang ingin menyejahterakan rakyat secara maksimal," tambah dia.
Pemerintahan Jokowi Penyumbang Utang Terbesar
Foto: Rachman Haryanto
|
Drajad mengatakan, pemerintahan Jokowi berpotensi akan menyumbang kenaikan utang pemerintah lebih besar dari periode sebelumnya.
"Pemerintahan Presiden Jokowi terlihat akan mewariskan utang yang jauh lebih besar nominalnya," kata Drajad saat dihubungi detkFinance, Jakarta, Minggu (24/2/2019).
Utang Pemerintah Tembus Rp 4.498 T
Foto: Rachman Haryanto
|
Jika dibandingkan dengan posisi Desember 2018 utang itu naik Rp 80,2 triliun dari sebelumnya Rp 4.418,30 triliun.
Jika dirinci, utang pemerintah yang sebesar Rp 4.498,56 triliun itu terdiri dari pinjaman yang sebesar Rp 795,79 triliun dan surat berharga negara (SBN) Rp 3.702,77 triliun.
Pinjaman yang sebesar Rp 795,79 triliun terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 788,66 triliun dengan rincian, pinjaman bilateral Rp 327,06 triliun, multilateral Rp 419,89 triliun, komersial Rp 41,71 triliun. Sedangkan pinjaman dalam negerinya sebesar Rp 7,13 triliun.
Untuk SBN yang sebesar Rp 3.702,77 triliun, terdiri dari denominasi rupiah Rp 2.675,04 triliun degan rincian SUN Rp 2.230,61 triliun, SBSN Rp 444,43 triliun.
Selajutnya, denominasi valas sebesar Rp 1.027,72 triliun dengan rincian SUN Rp 820,86 triliun dan SBSN sebesar Rp 206,86 triliun.
Halaman 2 dari 5