Mengutip CNBC, Selasa (26/3/2019), memang isu resesi negeri Paman Sam muncul setelah imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan dan imbal hasil obligasi jangka waktu 10 tahun mengalami inversi sejak 11 tahun lalu.
Inversi terjadi karena yield obligasi pada tenor jangka pendek lebih tinggi dibandingkan yang bertenor jangka panjang. Padahal, seharusnya yield obligasi dengan tenor panjang lebih tinggi karena tingkat risikonya.
Akhir 2018 lalu bank sentral AS atau The Federal Reserve menyesuaikan suku bunga. Pada Desember 2018 The Fed memberikan pernyataan jika ia hanya akan menaikkan bunga sebanyak dua kali 2019 ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengutip Reuters, data ekonomi AS seperti manufaktur menunjukkan angka yang tidak cukup baik. Sehingga tembaga yang juga menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi mengalami tekanan karena adanya perlambatan di AS.
Ketakutan resesi ini juga turut mempengaruhi pergerakan harga saham di Asia, dari data Reuters disebut indeks MSCI untuk saham Asia Pasifik di luar Jepang turun 1,4% menuju level terendah dalam satu pekan.
Sementara itu Nikkei Jepang turun lebih dari 3% dengan China CSI 300 kehilangan 1,7% pada saat ini.
Kesepakatan dagang antara AS dan China saat ini sudah mendekati tahap akhir negosiasi karena kedua pimpinan negara akan bertemu untuk berdikusi soal perang dagang.
Sementara itu lesunya ekonomi negara besar seperti AS, China dan Uni Eropa juga menimbulkan kekhawatiran pasar saham beberapa waktu terakhir.