Di mana, transaksi ekonomi secara digital tak terpantau oleh pajak, sehingga potensi penerimaan yang harusnya masuk ke kas negara menjadi hilang.
"Kalau bicara kebocoran pajak kenapa tax effort dan tax ratio itu rendah? Pertama kita lihat kebocoran PDB kita, bagaimana dengan shadow ekonomi. ... fenomena baru digital ekonomi itu shadow ekonomi. Kareana susah memajaki," ujar Pengamat pajak dari DDTC Darussalam dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (4/4/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah sebenarnya telah mengambil satu langkah maju dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce) yang rencananya mulai berlaku efektif 1 April 2019.
Sayang, belum sempat aturan itu diterapkan, menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah mencabutnya kembali.
"Saya meyangkan ini dicabut," ungkap Darussalam saat acara Diskusi Publik Urgensi Reformasi Pajak Indeks Ketaatan Pajak Vs Tragedi Pungli di Jakarta, Kamis (4/4/2019).
Keberadaan aturan ini sebenarnya cukup penting untuk menguak area gelam di industri ekonomi digital yang saat ini masih sulit dilacak oleh pajak. Dalam aturan tersebut, ada kewajiban bagi marketplace untuk mengirimkan data mitra usahanya kepada pemerintah.
"Karena sadar bahwa digital ekonomi susah dipajak, makanya ada kewajiban marketplace memberikan data ke pemerintah. Padahal ini upaya untuk mengurangi shadow ekonomi," jelas dia.
Dengan dicabutnya aturan tersebut, dikhawatirkan pemerintah bakal sulit mengungkap shadow ekonomi dan target penerimaan pajak pun makin sulit tercapai dan bisa saja kebocoran ekonomi yang telah terjadi bakal makin lebar. (hek/dna)