-
Nama perusahaan pembuat film 'Si Unyil' yaitu Perum Produksi Film Negara (PFN) kembali hadir meramaikan industri perfilman. PFN baru meluncurkan film remaja berjudul Kuambil Lagi Hatiku pada Maret 2019 kemarin.
Film ini merupakan layar lebar teranyar yang dibuat PFN setelah lebih dari dua dekade tak berproduksi. BUMN perfilman itu seakan bangkit dari mati suri setelah 26 tahun tertidur.
Sejatinya, PFN pernah berjaya di tahun 1980-an, ketika membuat film-film fenomenal seperti film G30S/PKI dan film serial anak Si Unyil. Pada masa keemasannya, PFN juga memiliki beberapa studio, bioskop, hingga laboratorium perfilman super modern saat itu.
Tapi setelahnya, PFN menghadapi guncangan hingga seperti mati dimakan zaman. PFN pun sempat masuk sebagai kategori BUMN dhuafa alias yang merugi pada periode 2000-an.
Kembalinya PFN di 2019 ini pun diharapkan menjadi suplemen penyegar bagi perkembangan industri film nasional saat ini. Simak berita lengkapnya.
Direktur Utama PFN Mohamad Abduh Aziz sendiri mengaku tak banyak memiliki informasi dengan apa yang terjadi pada PFN dalam kurun waktu tersebut. Sebab, Abduh juga merupakan orang baru pertengahan 2016 masuk PFN.
"Ini masa yang sebenarnya saya juga nggak banyak informasi. Sebenarnya kami ini benar-benar new kid on the block di-challenges untuk membenahi PFN, dan tanpa pengetahuan yang ... sebenarnya kita nggak tahu persis apa yang membuat PFN vakum selama ini," kata Abduh kepada detikFinance.
Meski begitu, dari pengalamannya memimpin PFN selama 2,5 tahun ini, ia menilai BUMN yang memproduksi serial anak Si Unyil itu vakum karena ketidakjelasan status dan masalah anggaran.
"Tapi kalau dari yang kita pelajari di sini, memang ada satu situasi transisi yang memang tidak terelakkan. Dulu kan Departemen Penerangan dibubarkan, ingat zaman Gusdur," jelasnya.
"Ada situasi panjang di mana tidak jelas sebenarnya driver-nya ada di mana. Mungkin itu yang dihadapi Dirut-Dirut sebelumnya, karena ketidakjelasan status di bawah siapa. Kemudian juga tidak ada kejelasan anggaran," sambung nya.
Kondisi ini, kata Abduh, berbeda dengan sebelumnya, di mana PFN yang berada di bawah Departemen Penerangan mendapat anggaran dari APBN.
"Kalau dulu kan enak, di bawah Departemen Penerangan ada APBN. Nah begitu menjadi BUMN kan semuanya harus..., bukannya tergantung pada APBN, tapi kalau bisa malah memberikan kontribusi, keuntungan pada negara," kata Abduh.
Abduh pun mengakui, bahwa selama ini PFN hanya diam tak menghasilkan banyak karya. Aset lama seperti laboratorium yang dimiliki PFN pun tak lagi digunakan.
"Iya diam. Apalagi migrasi, dulu kan kita punya banyak peralatan dari segi infrastruktur. Dulu kita punya laboratorium celluloid, begitu migrasi ke digital kan habis nggak dipakai. Peralatannya masih analog semua," jelasnya.
Untuk itu, Abduh mengatakan, perhatian pemerintah kini sangat dibutuhkan agar bisa membuat PFN terus hidup hingga bisa kembali ke masa kejayaannya dulu.
"Ini sebenarnya butuh investasi. Nah kita sih berharap ke depan ada semacam perhatian dari pemerintah juga untuk melihat soal ini," tutur Abduh.
Seiring dinamika industri perfilman hingga penghentian suntikan modal dari negara pada 1996, PFN mengalami guncangan. PFN 'istirahat' dalam memproduksi film.
Lama tak memproduksi film, PFN kemudian masuk masa kelam hingga jadi salah satu BUMN yang memiliki neraca keuangan negatif dengan utang mencapai Rp 11 miliar. PFN sempat menjadi BUMN Dhuafa.
Direktur Utama PFN Mohamad Abduh Aziz mengungkapkan, saat ini pun kondisi perusahaan sudah berangsur membaik. Bahkan PFN disebut telah mencetak untung, meski dia tak merinci berapa keuntungan yang diperoleh.
"Alhamdulillah ya, 2016 itu kita masih masuk daftar BUMN rugi. 2017-2018 kita sudah keluar dari daftar itu, walaupun marginnya masih kecil," kata Abduh.
"Sekarang jauh lebih ringan ketimbang dulu. Karena utang-utang kita juga mulai kita bereskan kan pelan-pelan. Terutama pajak-pajak yang belum dibayarkan segala macam. Piutang juga dibereskan segala macam," sambungnya.
Abduh hanya mengatakan pada 2018 lalu PFN berhasil memperoleh pendapatan hingga Rp 26 miliar. Sementara untuk tahun ini, kata Abduh, perusahaan menargetkan bisa meraup hingga Rp 48 miliar.
"Angkanya untuk revenue tahun lalu kita baru sampai sekitar Rp 26 miliar ya. Diharapkan tahun ini kita bisa mencapai Rp 48 miliar. Itu revenue ya, belum margin," katanya.
Abduh menjelaskan, PFN bisa berhasil keluar dari status BUMN dhuafa berkat adanya sinergi BUMN. PFN, kata Abduh, masih menggarap sejumlah proyek-proyek yang dibutuhkan dari BUMN lainnya.
"Klien kita adalah BUMN sebenarnya. Ya kan kita bukan hanya bikin film bioskop, banyak services yang terkait audiovisual, ya dokumenter, ya company profile, ya commercial, itu ke PFN," jelas Abduh.
Abduh pun optimistis PFN bisa kembali bangkit seperti sedia kala. Apalagi, kata Abduh, PFN sudah berani meluncurkan kembali film baru yang dapat mendongkrak keuangan perusahaan.
"Iya otomatis, dengan dukungan sponsor dan investasi, otomatis itu menaikkan performance kita. Nah kalau masih dibatasi hanya services saja, itu besar, tapi juga harusnya dengan film bioskop harusnya kita jauh lebih punya kemungkinan untuk meraup keuntungan yang lebih besar," tutur Abduh.
Direktur Utama PFN Mohamad Abduh Aziz mengatakan saat ini industri film memang sedang berkembang. Hal itu juga lah yang melatarbelakangi PFN untuk kembali memproduksi film.
Meski sedang berkembang, kata Abduh, sayangnya infrastruktur perfilman di Indonesia masih terbatas. Sebut saja tentang Bioskop yang jumlahnya masih rendah dibanding penduduk masyarakat Indonesia.
"Kalau kita lihat bioskop sekarang ini masih di bawah 2.000 layar di seluruh Indonesia. Dan paling banyak di Jabodetabek, hampir 60%. Nah Indonesia ini kan luasnya luar biasa, jumlah kabupaten/kotanya saja ada 515. Kalau 1 kabupaten butuh 10 bioskop kan artinya kita butuh 5.000 layar. Sekarang baru 2.000," kata Abduh.
Menurut Abduh, pembangunan jaringan bioskop tersebut menjadi peluang bisnis yang positif karena belum ada yang menggarap secara maksimal. Bukan tak mungkin PFN juga berencana untuk membuka peluang tersebut.
"Iya kalau perlu. Harus ada jaringan bioskop baru. Selama ini kan baru XXI, Cinemax, CGV. Tiga itu saja digabungin masih di bawah 2.000. Artinya kan ini balik lagi soal akses. Akses warga negara Indonesia terhadap tontonan juga harus diperhatikan," katanya.
"Kalau selama ini terkonsentrasi di kota-kota besar. Kalau kita masuk ke jaringan ke tingkat kecamatan saja, satu kecamatan satu bioskop saja, ini paling nggak jumlahnya sekitar 6.300-an kita butuh," sambung Abduh.
Pembangunan jaringan bioskop, kata Abduh, diperlukan agar film-film nasional bisa bersaing dengan film luar. Bukan cuma itu, dengan dibukanya jaringan bioskop baru juga maka industri perfilman juga otomatis bisa ikut mendorong perekonomian nasional lebih tinggi.
"Artinya PFN juga harus memikirkan celah itu, dia hadir dalam industri ini kemudian coba lihat peta industrinya seperti apa, cela-celah apa yang sebenarnya butuh diintervensi. Sehingga itu mestinya jauh lebih sehat. Kalau sekarang nggak sehat, kita berebut layar dengan bioskop," ucapnya.
"Nah sekarang kan problemnya kita belum lihat juga nih angka produksinya naik terus, pertumbuhan layarnya terbatas, lama-lama kan bottleneck juga. Belum adanya persaingan dengan film luar. Jadi saya sih melihat bahwa ini masa depannya luar biasa, cuma kalau nggak segera dibenahi sekarang, nanti backfire juga, gitu," sambungnya.
Karenanya, Abduh mengatakan, untuk bisa merealisasikan itu semua maka industri perfilman nasional ini masih membutuhkan perhatian pemerintah. Pemerintah perlu mendorong industri ini agar bisa lebih maju dan berkembang.
"Jadi saya kira memang negara atau pemerintah ini harus melihat ini bisnis yang strategis, sehingga sebagai BUMN kita ada semacam perhatian untuk segera membantu PFN untuk lebih cepat, dengan PMN saya kira dia bisa lebih cepat lepas landasnya," tutur Abduh.