Jakarta -
CEO raksasa ecommerce China Alibaba, Jack Ma tak henti-hentinya menggemparkan dunia. Setelah serentetan kisah suksesnya membangun Alibaba, kini dia menggemparkan karena kebijakan jam kerja untuk para karyawannya.
Salah satu orang terkaya di China ini ingin menerapkan 12 jam kerja per hari kepada para karyawannya. Dia membuat formula "9-9-6" maksudnya jam 9 pagi masuk kerja, pulang jam 9 malam, dalam 6 hari seminggu.
Namun, salah satu pengamat menyebutkan bahwa jam kerja tersebut sebetulnya tidak cocok digunakan jaman sekarang. Terlebih lagi dengan tren ekonomi modern.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana berita selengkapnya? Simak informasi yang telah dirangkum
detikFinance, klik halaman berikutnya.
Melansir, Unilad, Minggu (14/4/2019), Alibaba mendorong karyawannya untuk bekerja 72 jam seminggu atau 12 jam sehari. Jack Ma menyebut jadwal itu '9-9-6' yang berasal dari bekerja dari jam 9 pagi sampai jam 9 malam selama 6 hari dalam seminggu.
Menurut Jack Ma para karyawan Alibaba terbilang beruntung karena bisa bekerja selama 12 jam sehari. Pernyataan mengejutkan itu diutarakannya melalui akun WeChat perusahaan.
"Saya pribadi berpikir bahwa bisa bekerja 996 adalah berkah yang sangat besar. Banyak perusahaan dan banyak orang tidak memiliki kesempatan untuk bekerja 996. Jika Anda tidak bekerja 996 ketika Anda masih muda, kapan Anda bisa bekerja 996?" ujar Jack Ma.
Ujaran itu menimbulkan berbagai respon, terutama respon yang bernada protes atas kondisi kerja di perusahaan tersebut. Beberapa karyawan telah berbagi contoh tentang tuntutan yang berlebihan dari pengusaha.
Jack Ma, yang seorang mantan guru bahasa Inggris, mendirikan Alibaba pada tahun 1999. Dia telah mengambil pendekatan Monty Python "Four Yorkshiremen" untuk menjelaskan bagaimana ketika dia masih kecil hidup secara teratur dan bekerja berjam-jam.
"Di dunia ini, semua orang menginginkan kesuksesan, menginginkan kehidupan yang menyenangkan, ingin dihormati. Izinkan saya bertanya kepada semua orang, jika Anda tidak menghabiskan lebih banyak waktu dan energi daripada yang lain, bagaimana Anda bisa mencapai kesuksesan yang Anda inginkan?" tuturnya.
"Dibandingkan dengan mereka, hingga hari ini, saya masih merasa beruntung, saya tidak menyesal (bekerja 12 jam sehari), saya tidak akan pernah mengubah bagian diri saya ini," tambah Jack Ma.
Salah seorang karyawan telah menyuarakan keberatannya melalui surat kabar People's Daily. Dia yang tak mau disebutkan namanya berpendapat bahwa jadwal kerja '996' melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan Tiongkok yang menetapkan jam kerja rata-rata tidak boleh melebihi 40 jam seminggu.
Menurut artikel itu menciptakan budaya perusahaan dengan 'lembur yang dipaksa' tidak akan membantu daya saing inti bisnis dan juga dapat menghambat dan merusak kemampuan perusahaan untuk berinovasi.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa jam kerja panjang hingga 12 jam per hari yang diterapkan Jack Ma pada karyawannya kurang tepat.
Bhima menilai dalam tren ekonomi digital dewasa ini, kerja dengan waktu yang panjang tidak efektif. Dia mengatakan kini tidak perlu lagi kerja fisik dengan waktu yang lama.
"Kalau menurut saya dalam era digital sebetulnya nggak butuh kerja 12 jam sehari. Kalau trennya ekonomi digital nggak perlu kerja fisik yang terlalu lama," ungkap Bhima kepada detikFinance.
Bhima mengatakan seharusnya pekerja diarahkan ke pekerjaan yang efisien dan efektif. Dia juga mengatakan ada satu nilai yang harus ditonjolkan, hal tersebut adalah fleksibilitas.
"Kita harusnya kerja lebih efisien dan efektif kerja dimanapun bisa nggak harus di kantor dan jam kerja pun relatif fleksibel. Jadi ke arah kerja cerdas, efisien, targetnya tercapai performa bagus, itulah tren kerja yang diminati sekarang," ungkap Bhima.
Apalagi, untuk dipraktekan di Indonesia. Pasalnya, kalau menurut Bhima, kini tren ekonomi Indonesia lebih ke arah sektor jasa yang tidak memerlukan jam kerja panjang.
"Saya nggak setuju ya sama Jack Ma, apalagi kalau konteksnya kita melihat Indonesia yang mulai beralih ke sektor jasa," kata Bhima.
Menurutnya, menerapkan jam kerja panjang cocoknya diterapkan pada negara dengan sektor manufaktur yang mendominasi dimana pekerjaan kasar dan membutuhkan fisik dibutuhkan banyak. Namun, di Indonesia menurut Bhima sudah tidak lagi seperti itu.
"Kalau dengan pekerjaan (jam kerja panjang) itu kita sedang kembali di era tahun 80-an era dimana sektor manufaktur mendominasi ya itu boleh, tapi kalau level jasa sekarang harus ada penyesuaian jam kerja," ungkap Bhima.
Bhima mengatakan bahwa jam kerja panjang bagi para pekerja dapat memicu bunuh diri. Dia menekankan agar dalam menentukan jam kerja harus menggunakan prinsip work life balance.
Dia menilai hal itu bisa terjadi apabila tidak adanya jam kerja yang yang seimbang seperti prinsip work life balance maka bisa memicu perilaku negatif bahkan bunuh diri bagi pekerja. Khususnya para pekerja muda yang masih sangat mudah tertekan.
"Itu bisa mendorong bunuh diri yang meningkat di usia remaja karena adanya tekanan kerja, jam kerja, dan adanya tekanan interaksi sosial berkurang sehingga memicu mereka berperilaku negatif," sebut Bhima.
Menurut Bhima, daripada mencontek kebijakan jam kerja panjang yang diterapkan Jack Ma, lebih baik mencari cara untuk bekerja dengan efektif dan efisien.
"Saya harapkan Indonesia jangan contek Jack Ma, tapi lebih ke kerja efektif dan efisien, karena ini modelnya sudah ekonomi milenial," tutup Bhima.
Halaman Selanjutnya
Halaman