Hal ini disebut karena investor asing mulai percaya jika pemilu di Indonesia berlangsung aman. Sehingga mereka mulai menentukan pilihan untuk lanjut berinvestasi di Indonesia.
Lalu bagaimana menurut lembaga rating internasional soal menangnya Jokowi dalam hitung cepat ini?
Masih Butuh Reformasi Struktural
|
Foto: Ari Saputra
|
Pasalnya ini akan mempengaruhi iklim investasi, mulai dari dana pendidikan, undang-undang ketenagakerjaan yang lebih fleksibel hingga pertanahan.
"Masih ada ketidakpastian dalam pemerintahan selanjutnya. Diperlukan reformasi untuk mempermudah iklim investasi," ujar Rookmaker dalam keterangan tertulis, Kamis (18/4/2019).
Di sisi lain Rookmaaker menjelaskan hasil hitung cepat pemilihan presiden (Pilpres) yang diungguli oleh pasangan Jokowi-Ma'ruf menunjukkan kepercayaan diri pasar.
Pasalnya kebijakan ekonomi yang sudah dijalankan kemungkinan akan dilanjutkan. Memang dalam masa kepemimpinan Jokowi, pemerintahannya fokus pada stabilitas makro, pembangunan infrastruktur dan upaya meningkatkan rasio penerimaan pajak.
"Fokus kebijakan berkelanjutan pada stabilitas ekonomi makro itu sangat relevan," kata Rookmaker.
Pemerintah juga berhasil melakukan koordinasi yang baik dengan Bank Indonesia (BI). Dengan fokus menjaga kestabilan makro ekonomi, Fitch juga memberi rating BBB ke Indonesia pada Desember 2017.
Tanggapan Moody's
|
Foto: Ardan Adhi Chandra
|
"Perkembangan ini akan mempengaruhi kebijakan selanjutnya, dia juga harus fokus pada reformasi kebijakan pada jabatan pertamanya, termasuk pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia hingga efisiensi birokrasi yang bertahap," ujar Anushka, Kamis (18/4/2019).
Dia menyampaikan, kebijakan yang ada juga harus mendukung investasi dan stabilitas perekonomian yang lebih luas. Dengan adanya pertumbuhan yang stabil maka dapat mendorong stabilitas sektor keuangan.
"Yang sangat penting porsi kepemilikan asing di pasar obligasi sangat tinggi," ujarnya.
Berdasarkan hasil hitung cepat yang menyebut pasangan Jokowi-Ma'ruf unggul dalam pemilihan merupakan preferensi pelaku pasar yang mayoritas investor asing untuk masuk lagi ke Indonesia.
Potensi tersebut membuat investor berharap keberlangsungan bisnis dan investasi bisa berlanjut di bawah kepemimpinan presiden sebelumnya dalam lima tahun mendatang. Moody's menyebutkan investor juga mengapresiasi reformasi struktural serta deregulasi kebijakan ekonomi yang akan berdampak positif bagi kelangsungan ekonomi Indonesia dalam jangka menengah panjang.
Jokowi Effect
|
Foto: Rengga Sancaya
|
"Jadi belum ada official data dan ada kemungkinan berlanjut gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jadi investor sepertinya masih akan menunggu," ujar Piter, Kamis (18/4/2019).
Dia mengungkapkan, selanjutnya jika hasil resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah keluar dan menetapkan Jokowi sebagai presiden terpilih, masih ada potensi gangguan dari pihak yang tidak menerima keputusan tersebut.
"Lalu jika KPU sudah resmi menetapkan Jokowi sebagai presiden terpilih dan Prabowo menerima, rupiah juga masih tetap dipengaruhi oleh kondisi global. Jika globalnya tetap dovish, rupiah dalam jangka menengah panjang berpotensi menguat," imbuh dia.
Ekonom Bank DBS Masyita Crystallin menjelaskan usai Pemilu biasanya pasar merasa lebih optimis. Hal ini karena kemungkinan hasil Pemilu yang sejalan dengan hasil survei beberapa lembaga.
"Ini sesuatu yang wajar dan expected, bisa jadi sebagian dari upside terhadap rupiah ini sudah price in sebelumnya," kata dia.
Menurut dia, investor obligasi saat ini sudah cukup optimistis dengan Indonesia terutama di surat utang tenor panjang dan setelah hitung cepat keluar mulai mengalihkan dolar AS ke rupiah.
Dia menjelaskan neraca perdagangan yang mencatat surplus selama dua bulan berturut-turut juga membantu mendorong penguatan rupiah. Memang, ke depan yang harus diperhatikan adalah neraca perdagangan dan neraca pembayaran.
Kemudian rendahnya harga minyak akhir tahun lalu dan stimulus China yang sudah mulai menunjukkan dampaknya menjadi positive upside untuk neraca perdagangan Indonesia.
Selanjutnya, Indonesia tetap kompetitif dari sisi investor obligasi global karena tingkat bunga yang masih cukup menarik, karena dikombinasikan dengan kebijakan makro yang pruden.











































