Jakarta -
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan. Bahkan, orang nomor satu di Indonesia ini telah bertemu dengan sejumlah petinggi serikat pekerja Indonesia.
Revisi PP Nomor 78 Tahun 2015 ini merupakan janji Jokowi saat melakukan kampanyr sebagai calon presiden (capres) periode 2019-2024.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) Said Iqbal bahkan telah memberikan masukan kepada Jokowi terkait keinginan buruh terhadap aturan upah yang bakal direvisi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun demikian, mari kita lihat PP Nomor 78 Tahun 2015 yang akan direvisi pemerintah. Apakah nantinya akan menguntungkan buruh atau malah sebaliknya? Simak selengkapnya di sini:
Salah satu alasan tidak setujunya buruh kepada aturan yang sudah berlaku karena kenaikan upah buruh hanya dihitung berdasarkan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Jika dihitung rata-rata per tahunnya hanya 8%.
"Menurut kami PP ini merugikan kaum buruh," ujar Said Iqbal.
Adapun, rumusan baru pengupahan dalam Peraturan Pemerintah (PP) yaitu UMP tahun depan = UMP tahun berjalan + (UMP tahun berjalan x (inflasi + pertumbuhan ekonomi).
Dari catatan detikFinance, kenaikan UMP dari tahun 2015 ke 2016 yang menggunakan formula perhitungan tersebut pertama kali rata-rata sebesar 11,5% di berbagai wilayah Indonesia.
Kemudian di tahun 2017, Kemnaker kembali menaikkan UMP sebesar 8,25%. Kenaikan itu didapatkan dengan asumsi inflasi 3,07% dan pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,18%.
Selanjutnya, pada 2018 UMP Juga dinaikkan sebesar 8,71%. Kenaikan UMP 2018 sebesar 8,71% dihitung berdasarkan data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional (pertumbuhan PDB) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Rinciannya, inflasi nasional sebesar 3,72% dan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,99%.
Terakhir pada 2019 nanti, Kemnaker menaikkan UMP sebesar 8,03%. Kenaikan dihitung dari inflasi nasional sebesar 2,88% ditambah pertumbuhan PDB sebesar 5,15%.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai aturan pengupahan yang selama ini berlaku merugikan buruh di Indonesia.
Unek-unek itu, kata Said Iqbal pun telah disampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat bertemu di Istana Bogor, Jumat (26/4/2019). Dalam pertemuan itu dibahas mengenai rencana pemerintah merevisi aturan upah.
"Menurut kami PP ini merugikan kaum buruh," kata Said Iqbal saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Sabtu (27/4/2019).
Aturan pengupahan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dalam beleid ini, kenaikan upah buruh sesuai angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Menurut Said Iqbal, kerugian bagi buruh adalah hilangnya hak berunding buruh yang diwakili oleh serikat buruh. Hal itu juga yang membuat upah buruh masih murah meskipun kenaikan terjadi setiap tahunnya.
Said Iqbal mengatakan, alasan pertama adalah hak berunding serikat pekerja hilang dalam pembahasan kenaikan gaji buruh. Menurut Said Iqbal, Presiden Jokowi pun menyetujui adanya revisi aturan pengupahan.
"Presiden Jokowi setuju PP Nomor 78 direvisi," kata Said Iqbal saat dihubungi detikFinance, Sabtu (27/4/2019).
Aturan pengupahan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tantang Pengupahan.
Mengenai masukan yang kedua, kata Said Iqbal adalah mencabut formula kenaikan upah minimum dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Lalu di ganti dengan formula survei pasar yang kemudian di rundingkan dalam dewan pengupahan.
Masukan yang ketiga adalah memberlakukan upah minimum sektoral secara menyeluruh dan menindak tegas perusahaan yang tidak membayar upah minimum.
Halaman Selanjutnya
Halaman