Di 2016 ekspor SBW senilai Rp 24 juta, 2017 meningkat Rp48 juta, dan di 2018 meningkat lagi hingga mencapai Rp 455 juta. Namun sebenarnya potensi ekspor SBW asal Lombok lebih besar dari kenyataan ekspor langsung itu.
Karena dari data lalu lintas antar area Lombok ke Surabaya dapat dilihat adanya frekuensi pengiriman SBW untuk bahan baku ekspor ke Tiongkok dengan nilai yang sangat besar. Lalu lintas antar area SBW dari Lombok ke Surabaya pada 2016 mencapai Rp 30,28 miliar, 2017 senilai Rp 36,512 miliar dan di 2018 senilai Rp 20,896 miliar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penyebab puluhan miliar nilai ekspor SBW yang seharusnya menjadi PAD Propinsi NTB namun menjadi milik provinsi lain dikarenakan Lombok belum bisa menembus pasar Tiongkok secara langsung. Sungguh disayangkan sekali, karena itulah Kementerian Pertanian melalui Badan Karantina Pertanian (Barantan) mengajak Pemerintah Provinsi NTB untuk mendorong adanya investor yang mau membangun rumah produksi walet di Lombok sebagai syarat memenuhi protokol karantina pasar Tiongkok," ujar Kepala Barantan Ali Jamil dalam keterangannya, Jumat (10/5/2019).
Jamil mengatakan itu saat pelepasan ekspor komoditas pertanian di Kantor Pos Mataram, Kamis (9/5).
Berdasarkan IQFAST Karantina Pertanian Mataram, di kuartal pertama 2019 nilai ekspor komoditas pertanian pulau Lombok mencapai Rp 318,6 juta antara lain, sarang burung walet (SBW) senilai Rp 176,5 juta, kerajinan rotan senilai Rp 64,6 juta, kerajinan bambu senilai Rp 52,1 juta, dan lainnya senilai Rp 25,3 juta.
Perlu adanya perhatian khusus karena pada tahun 2018 nilai ekspor komoditas pertanian pulau Lombok mencapai Rp 3,9 miliar yang berasal dari ekspor manggis senilai Rp 3,6 miliar, melon senilai Rp 254 juta, sarang burung walet senilai Rp 96 juta dan bambu senilai Rp 20,8 juta.
"Perlu adanya langkah-langkah khusus dan pengawalan terhadap manggis, kenapa tahun 2019 tidak ada ekspor," ujar Jamil.
Sebagaimana data domestik/ antar area, SBW dan buah manggis banyak dari Lombok dikirim ke Bali dan Surabaya. Ada indikasi bahwa manggis Lombok di ekspor ke Vietnam melalui Bali.
Karena Bali sudah mempunyai packing house (rumah kemas) teregistrasi, merupakan salah satu persyaratan manggis bisa diterima di pasar Tiongkok.
"Di Lombok juga belum ada packing house (rumah kemas), sekali lagi kami mengajak Pemerintah Provinsi untuk dapat memfasilitasi para investor atau eksportir manggis untuk membangun rumah kemas di pulau Lombok, sehingga kita bisa kembali ekspor manggis langsung dari sini," tegas Jamil.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terdiri dari 2 pulau yang memiliki potensi ekspor komoditas pertanian yang besar, yaitu pulau Lombok dan pulau Sumbawa Besar. Nilai total ekspor komoditas pertanian pulau Lombok di tahun 2018 mencapai Rp 4,7 miliar, dengan komoditas yang didominasi adalah ekspor manggis ke Vietnam senilai Rp 3,6 miliar.
"Meskipun Karantina Pertanian Mataram dapat membantu memberikan bimbingan teknis rumah produksi walet dan rumah kemas manggis yang sesuai dengan syarat protokol karantina negara Tiongkok, namun hal ini tidak dapat kami lakukan jika tidak ada kerjasama dari pihak Pemerintah Propinsi NTB yang dapat menggandeng investor," jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, Sekda Provinsi NTB, Rosyadi Husaeni Sayuti mengatakan pihaknya mendukung penuh program akselerasi ekspor yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian.
Dukungan tersebut dibuktikan bahwa saat ini pemerintah propinsi NTB telah menyediakan lahan yang dapat digunakan untuk membangun rumah kemas manggis yang akan mulai dibangun bulan Mei 2019, begitupun dengan rumah produksi walet kami akan carikan investor yang mau berinvestasi di Lombok.
Kepala Karantina Pertanian Mataram, Arinaung Siregar mengatakan bahwa total komoditas pertanian yang diekspor pada kali ini secara langsung senilai Rp 74,2 juta. Dengan rincian tempurung kelapa tujuan Norway senilai Rp 54,4 juta, tas rotan tujuan Prancis dan Philipina senilai Rp 12 juta, sedotan bambu tujuan Swiss senilai Rp 2,3 juta dan sarang burung walet tujuan Belanda senilai Rp 5,5 juta.
Sementara ada juga sarang burung walet yang dikirim ke Jakarta untuk diekspor ke Tiongkok melalui Bandara Soekarno Hatta. (ega/ara)