Erwin mengaku telah berjualan sebagai pedagang kaki lima di Jalan Sabang, Jakarta Pusat sejak tahun 1990.
Ia mengatakan alasannya tetap berjualan saat aksi 22 Mei kemarin karena menilai tak akan ada kerusuhan, seperti hari sebelumnya (21 Mei). Ia pun mulai membuka dagangannya sejak pukul 17.00 WIB.
"Ya jualan kemarin soalnya nggak mikir ada rusuh juga sih. Dari jam 5 sudah buka," kata dia saat berbincang dengan detikFinance, Kamis (23/5/2019).
Lebih lanjut, ia menjelaskan saat mulai membuka dagangannya langsung dipenuhi massa yang ingin berbuka puasa. Bahkan ia memperkirakan terjadi kenaikan jumlah pembelu hingga 20%.
"Sore itu langsung ramai orang-orang itu (massa aksi 22 Mei), dari daerah kan ngobrol-ngobrol juga. Kira-kira 20% lah naik," sambungnya.
Hanya saja, untuk menghindari kericuhan yang terjadi semalam ia memilih menutup dagangannya lebih cepat, yakni pukul 01.00 dini hari. Padahal, biasanya ia bisa berjualan hingga pukul 02.00 WIB.
"Tapi kemarin akhir-akhir emang agak ricuh. Jadi balik lebih cepat tuh jam 01.00 pagi. Biasanya bisa sampai jam 02.00 WIB," ungkap dia.
Sementara itu, pedagang kaki lima di Jalan Sabang lainnya, yakni Indra mengaku justru tak membuka dagangannya di tanggal 22 Mei kemarin. Hal itu demi mengantisipasi risiko aksi yang terjadi.
Alhasil, mau tak mau ia mesti menanggung kerugian hingga sebesar Rp 1,5 juta atau setara dengan pendapatannya per hari.
"Kemarin nggak jualan, sengaja kan ada aksi. Nggak kenapa deh rugi daripada keselamatan terancam. Rugi kisaran Rp 1,5 juta soalnya benar-benar nggak jualan," tutup dia. (dna/dna)
