Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta mengatakan upaya tersebut dilakukan melalui peningkatan ekspor, investasi dan memperbesar kontribusi UMKM dalam kegiatan perekonomian nasional.
Menurut Arif selama ini pertumbuhan ekonomi nasional masih bertumpu pada konsumsi, baik konsumsi rumah tangga (RT) maupun konsumsi pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan kondisi tersebut sudah saatnya pemerintah mulai bergeser mengandalkan ekspor dan investasi untuk menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Hal ini juga sesuai dengan mandat Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan kunci pertumbuhan ekonomi saat ini hanya ada dua, yakni kenaikan ekspor dan investasi.
Namun sayangnya, sambung Arif, sejak 2016 pertumbuhan impor kembali lebih tinggi daripada pertumbuhan ekspornya. Pada 2018, pertumbuhan ekspor hanya sebesar 6,7%, sementara pertumbuhan impor mencapai 20,2%. Ketergantungan terhadap impor bahan baku industri menjadi penyebab utama tingginya pertumbuhan impor Indonesia.
"Selain itu, pelemahan kinerja ekspor juga disebabkan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cihna sehingga cenderung menekan aktivitas perdagangan Indonesia. Ini tidak bisa dipungkiri karena China dan AS merupakan dua negara tujuan ekspor utama bagi Indonesia," ujarnya.
Kajian Economist Intelligence Unit (EIU) menyebutkan adanya tarif impor akibat perang dagang China dan AS akan lebih berdampak pada pergeseran alur perdagangan. Artinya, menurut Arif, hal ini akan menumbuhkan kesempatan baru bagi eksportir-eksportir (terutama negara berkembang) ketika China dan AS mencari alternatif pemasok lain. Dalam hal ini, negara-negara Asia diperkirakan dapat dapat mengambil keuntungan terbesar.
Sementara itu, dari sisi investasi, menurutnya belum mendapatkan perhatian serius. Hal itu terlihat dari pertumbuhannya yang terus mengalami perlambatan, baik untuk investasi domestik maupun asing. Sulitnya perizinan berinvestasi ditengarai sebagai salah satu penghambat perkembangan investasi di Indonesia.
Investasi yang diharapkan mampu membawa dampak signifikan bagi penyerapan tenaga kerja nyatanya belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal itu disebabkan adanya mismatch antara investasi yang masuk dengan sektor penyerap tenaga kerja.
"Realisasi PMA (penanaman modal asing) ke sektor manufaktur tidak banyak ditujukan untuk sektor-sektor padat karya. Ke depannya, investasi baik asing dan domestik harus diarahkan ke sana," tutup Arif. (hek/zlf)