-
Badan Anggaran (Banggar) DPR RI bersama dengan pemerintah telah mengesahkan laporan realisasi APBN 2019 di semester pertama dan prognosis semester kedua tahun ini.
Salah satu isi dari prognosis tersebut adalah proyeksi pertumbuhan ekonomi di semester II-2019 di level 5,2%. Target tersebut lebih rendah dari target APBN 2019 sebesar 5,3%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan bahwa pemerintah saat ini lebih fokus untuk meningkatkan kualitas dari pertumbuhan ekonomi. Sehingga dampaknya akan terasa dalam mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Sebelum disahkan, laporan Panja APBN 2019 pun telah dibacakan panjang lebar oleh Koordinator Panja Perumusan APBN Iskandar.
"Terima kasih saudara Iskandar telah membacakannya. Silahkan dari pemerintah yang ingin memberi masukan," kata Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Kahar Muzakir di Ruang Rapat Banggar gedung DPR RI, Jakarta, Senin (22/7/2019).
Dari pihak pemerintah, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun setuju dengan hasil laporan panja tersebut. Dia hanya mengusulkan agar ada penambahan tabel untuk mempermudah pembacaan.
"Sedikit tambahan saja kalau seandainya di halaman setelah pembahasan asumsi makro bisa selipkan tabel. Sehingga orang bisa membacanya. Untuk laporan reakisasi semester I juga disisipkan tabel. Jadi usulannya hanya ada 2 tabel yakni tabel asumsi dan table postur realisasi," kata Sri Mulyani.
"Masalah penambahan tabel saya kira enggak ada masalah," jawab Kahar.
Setelah ada sedikit tanggapan dari beberapa anggota banggar, akhirnya laporan realisasi APBN 2019 di semester pertama dan prognosis semester kedua disahkan.
Sekadar informasi, dalam laporan tersebut pertumbuhan ekonomi pada semester II 2019 diperkirakan sebesar 5,2%. Lebih tinggi dari semester I sebesar 5,1%. Namun target tersebut lebih rendah dari target APBN 2019 sebesar 5,3%.
Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan Rp 14.303 di semester II. Sementara, di semester I sebesar Rp 14.197.
Lalu SPN 3 bulan di semester II sebesar 5,4%. Sedangkan outlook untuk akhir tahun sebesar 5,6%.
Harga minyak Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) semester II sebesar US$ 63 per barel. Outlook hingga akhir tahun juga US$ 63 per barel.
Selanjutnya, lifting minyak diproyeksi 753 ribu barel per hari dan gas 1.090 ribu barel setara minyak per hari pada semester II 2019. Akhir 2019, diproyeksi lifting minyak 754 ribu barel per hari dan lifting gas 1.072 ribu barel setara minyak per hari.
Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini meleset dari target awal sebesar 5,3%. Menurut laporan prognosis semester II APBN 2019 yang telah disahkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,2%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, penentuan proyeksi pertumbuhan ekonomi dilihat dari sisi permintaan dan produksi secara luas. Dari sisi permintaan, konsumsi dan investasi menjadi penopang.
"Sementara itu untuk ekspor selain dorong competitiveness, suasana lingkungan global pasti akan terpengaruh," terangnya di gedung DPR, Jakarta, Senin (22/7/2019).
Menurutnya sisi permintaan ini yang masih menunjukan tantangan cukup besar. Termasuk pengaruhnya dari gejolak ekonomi global.
"Sementara dari sisi produksi dalam laporan semesteran dan sampaikan awal awal kebijkan fiskal sektor produksi kita sudah capai output gap mendekati 0 dan kita harus meningkatkan kapasitasnya. Semua berujung pada persoalan bagaimana meningkatkan investasi di Indonesia," tambahnya.
Oleh karena itu, kata Sri Mulyani, pemerintah akan bekerja memperbaiki iklim investasi. Dengan begitu diyakini meski menurun dari target, kualitas pertumbuhan ekonomi akan terjaga.
"Pertumbuhan akan menciptakan lapangan pekerjaan. Sehingga tingkat pengangguran akan turun dan kemiskinan menurun. Ini equality," tambahnya.
Target pertumbuhan ekonomi di 2019 meleset dari proyeksi awal 5,3%. Pemerintah dalam prognosis APBN 2019 semester kedua memperkirakan pertumbuhan ekonomi 5,2%.
Pengamat Ekonomi Bhima Yudhistira menerangkan, memang untuk keluar dari jebakan ekonomi kelas menengah cukup dengan mencapai pertumbuhan ekonomi di 5,2%. Menurutnya itu menjadi salah satu alasan pemerintah.
"Jadi jangan karena gagal menstimulus ekonomi khususnya ekspor dan investasi kemudian hanya puas dengan pertumbuhan 5%-an dan alibi untk peningkatan kualitas ekonomi," ujarnya kepada detikFinance.
Menurut Bhima, pertumbuhan ekonomi RI masih belum berkualitas. Terbukti dari masih tingginya tingkat kemiskinan.
"Buktinya 5 tahun kita tumbuh stagnan di 5% tapi indikator kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran hanya turun tipis," ujarnya.
Menurutnya, program-program sosial yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas ekonomi belum maksimal.
"Aggaran bansos, dana desa, pendidikan dan kesehatan sudah besar tapi efeknya kan tidak signifikan ke perbaikan kualitas ekonomi. Harus jadi evaluasi bersama, jangan wacana mendorong angka pertumbuhan yang tinggi di-vis a vis-kan dengan kualitas pertumbuhan," tutupnya.