Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, seharusnya ekonomi di kuartal II-2019 tersebut bisa lebih tinggi dari yang sebelumnya mengingat adanya momentum puasa dan Lebaran.
"Itu ada gambaran setrum ekonomi nggak sepenuhnya dorong perekonomian. Situasi itu pernah terjadi. Betapa tidak selalu momentum Lebaran berhasil membuat lompatan dan akselerasi," kata Eko dalam konferensi pers di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Rabu (7/8/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eko mengatakan, meskipun sektor konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah dapat tumbuh lebih tinggi di kuartal II-2019 ini, namun di sisi sektoral tidak banyak sektor-sektor produktif yang dapat menyambut momentum peningkatan permintaan dengan peningkatan produksi secara memadai.
Bahayanya, jika konsumsi besar namun tidak ditopang oleh laju investasi (produksi) yang memadai maka dalam waktu cepat akan dapat meningkatkan impor, dan selanjutnya mengguncang neraca transaksi berjalan.
"Tujuh tahun terakhir selama Lebaran, pertumbuhan ekonomi kadang bisa naik, kadang stabil, kadang lebih rendah bahkan. Seperti kejadian tahun ini. Tahun lalu ekonomi kuartal-I 5,06%, mampu didongkrak jadi 5,27% (di kuartal II-2019). Tapi tahun ini tidak terjadi," katanya.
"Maka itu bisa dikatakan byarpet pertumbuhan ekonomi, karena bisa naik, stabil, bisa turun," sambungnya.
Pada kesempatan yang sama, Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus menambahkan, saat ini ekonomi Indonesia masih bertumpu pada konsumsi rumah tangga. Sementara kinerja investasi yang dilihat dari Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mengalami perlambatan dari 5,85% di kuartal II-2018, menjadi 5,01% di kuartal II-2019.
"Salah satu penyebabnya adalah terjadinya kontraksi pada investasi barang modal, seperti kendaraan untuk barang modal dan peralatan lainnya," katanya.
Untuk itu, kata dia, pemerintah seharusnya bisa lebih mendorong investasi agar tak hanya bertumpu pada konsumsi. Namun, investasi yang masuk juga harus bisa memberikan dampak kepada industri.
"Jadi sekarang bukan hanya dilihat berapa banyak investasi yang masuk, tapi seberapa efektif untuk mendorong industri," tuturnya.
(fdl/ara)











































