Nelayan Keluhkan Aturan Wajib Sistem Identifikasi Kapal

Nelayan Keluhkan Aturan Wajib Sistem Identifikasi Kapal

Imam Suripto - detikFinance
Kamis, 08 Agu 2019 14:54 WIB
Foto: Imam Suripto/detikcom
Tegal - Aturan baru yang mewajibkan kapal penangkap ikan mengaktifkan dan memasang Automatic Identification System dikeluhkan para nelayan Kota Tegal Jawa Tengah. Mereka beralasan beban dan kewajiban serta persyaratan perizinan bagi kapal penangkap ikan untuk bisa melaut makin bertambah.

Aturan yang mulai diberlakukan sejak Agustus 2019, tertuang dalam Surat Edaran Kementerian Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Nomor 16/PK/AK/2019 dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 7 Tahun 2019 Tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis bagi kapal yang berlayar di wilayah perairan Indonesia.

Sesuai aturan itu, semua kapal yang berlayar di perairan Indonesia diwajibkan memasang dan mengaktifkan Automatic Indentification System (AIS) termasuk untuk kapal penangkap ikan. Bagi kapal penangkap ikan yang memasang AIS tidak akan diterbitkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


"Beban dan kewajiban serta persyaratan perizinan bagi kapal penangkap ikan untuk bisa melaut kini bertambah lagi," kata Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesian (HNSI) Kota Tegal, Riswanto.

Menurut Riswanto kurang lebih 16 item untuk dokumen kapal penangkap ikan yang harus ada di atas kapal dari lembaga dan Kementerian yang berbeda sebagai syarat perijinan untuk bisa melaut.

Ditambahkan Riswanto, fungsi dan pengawasan untuk kapal perikanan tangkap, sebenarnya sudah ada melalui pemasangan dan pengaktifan Vessel Monitoring System (VMS) di bawah Kementerian Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia.

"Namun kini melalui Kementerian Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut juga menerapkan fungsi pengawasannya dengan mewajibkan setiap kapal berbendera Indonesia memasang dan mengaktifkan Sistem Indentifikasi Otomatis AIS. Ini fungsinya hampir sama dengan Vessel Monitoring System (VMS)," ungkap Riswanto.


Jika memang akan menerapkan pengawasan, negara bisa menggunakan satu alat pengawasan dengan beberapa instansi atau lembaga yang mengawasinya. Bukan tiap instansi/lembaga satu alat pengawasan.

Sanksi bagi yang melanggar pun, kata dia tidak main main. Selain tidak mendapatkan izin berlayar, sanksi administrasi juga diberlakukan untuk nakhoda kapal dengan pencabutan sertifikat pengukuhan (Certivicate Of Endosment (COE).

"Kalau sangsi tersebut diberlakukan kepada nakhoda kapal perikanan tangkap, maka hal tersebut bertentangan dengan Undang Undang Perlindungan Nelayan. Karena nakhoda terancam kehilangan profesi pekerjaan sebagai tulang punggung perekonomian keluarganya," tutur Riswanto.

Sementara, Ketua Paguyuban Nelayan Kota Tegal (PNKT) Susanto Agus Priyono menyampaikan, terkait dengan AIS, Kemenhub dianggap masih kurang melakukan sosialisasi. Alasannya, nelayan belum mengetahui secara utuh maksud dan tujuan Kemenhub mewajibkan pemasangan AIS.


"Di Tegal saja setahu saya belum pernah mengadakan sosialisasi terkait dengan itu. Untuk pengawasan yang ada di lapangan, nelayan masih menggunakan VMS (vesel monitoris system). Kalau nelayan diharuskan memakai 2 alat tersebut hal ini dikhawatirkan terjadi tumpang tindih untuk pengawasan di laut," kata Susanto.

Nelayan berharap Pemerintah baik KKP maupun Kemenhub bisa terlebih dahulu mempertimbangkan alat mana yang akan digunakan. Mengingat kedu alat itu fungsinya sama.

"Atau misalnya nelayan bisa diberikan pilihan salah satu. Karena untuk alat itu juga diperlukan biaya yang tidak sedikit," tuturnya.


(hns/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads