Namun pasar SUN juga memiliki efek samping yang cukup berbahaya. Jika pasar SUN bergejolak bisa merembet ke nilai tukar RI hingga bergejolaknya perekonomian.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerangkan saat ini jika dilihat secara keseluruhan pemegang SUN dari domestik mencapai 70%. Sementara sisanya 30% dipegang oleh investor asing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Pemerintah Bidik Rp 2 T dari Sukuk ST-005 |
Sri Mulyani menilai dengan porsi pemegang SUN dari pihak asing mencapai 30% maka kondisinya masih sangat rentan. Jika mereka menjual SUN dan menarik dana maka harga SUN akan jatuh dan yield melambung tinggi. Tentunya semakin tingginya yield SUN mengindikasikan semakin berisiko ekonomi negara penerbitnya.
"Kalau asing kurang dari 20% atau bahkan 10%, kalau mereka lagi gonjang ganjing. Oh aku kayanya nggak terlalu tenang aku mau balik lagi negara saya, terus jual SUN, Indonesia tetap bagus, tapi mereka nggak tenang aja. Kalau 30% bond holder menjual pasti harganya jatuh. Karena kan nggak ada yang membeli, uang membeli paling besar biasanya BI jadinya," tambahnya.
Efek samping ini pernah terjadi pada 2013 dan 2018 kemarin. Pada 2013, Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed melakukan kebijakan taper tantrum dengan mengumumkan akan mengurangi stimulus ekonomi secara bertahap dan akan menaikkan suku bunga acuan.
"Pada 2013 steroidnya itu di-taper. Itu baru diumumkan loh, langsung banyak yang kena. Nah di 2018 tidak hanya diumumkan tapi benar-benar dilakukan. Federal Reserve naikkan suku bunga 4 kali," tutupnya.
(das/dna)