Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menjelaskan beberapa faktor yang akan mempengaruhi ekspor adalah lemahnya permintaan dan menurunnya kualitas barang ekspor Indonesia.
"Kita tidak terpengaruh banyak dari sisi (devaluasi) Yuan, karena porsi kita bukan ditentukan dari kurs, tapi dari transaksi ekspor jangka pendek yang tidak terkait dengan devaluasi Yuan," kata Dody di Gedung BI, Jakarta, Senin (12/8/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Dody, devaluasi Yuan ini tergantung dari mekanisme pasar. "Devaluasi Yuan tergantung dari pemerintah China ini merupakan mekanisme pasar yang menyebabkan Yuan nya melemah, ataukah ini menjadi salah satu bagian dari upaya mendevaluasikan mata uangnya untuk keperluan dagang mereka," jelas dia.
Pada kuartal II 2019 pertumbuhan ekspor tercatat minus 1,81 persen%, padahal pada kuartal II 2018 ekspor masih tumbuh 7,65%. Sebelumnya dugaan devaluasi Yuan sebelumnya sudah dibantah Bank Sentral China, People's Bank of China (PBoC).
Mereka menyebut volatilitas nilai tukar Yuan secara drastis beberapa waktu belakangan merupakan reaksi pasar menanggapi rencana kenaikan tarif impor yang digaungkan Amerika Serikat (AS). Tanggapan pemerintah China ini merespon tuduhan manipulasi mata uang yang dilontarkan Presiden AS Donald Trump kepada China, setelah mata uang China bergerak di 6,9 hingga tujuh Yuan per dolar AS dalam satu pekan terakhir.
Memang, China merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Namun posisi Indonesia selalu defisit karena serbuan barang impor konsumsi dari China. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami defisit perdagangan terhadap China hingga US$ 8,48 miliar pada periode Januari-Mei 2019. Angka itu meningkat dari defisit Januari-Mei 2018 yang sebesar US$ 8,11 miliar.
(kil/dna)