Sayangnya, banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk mendorong ekspor gas. Salah satunya berlawanan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, di mana sumber daya energi tidak dijadikan sebagai komoditas ekspor semata tetapi modal pembangunan nasional.
"Sekarang sudah mencapai angka 65,4% kita gunakan gas untuk domestik sebagai modal pembangunan, ciptakan lapangan kerja, agar sektor yang lain tidak impor," kata Plt Dirjen Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto di Gedung Migas, Jakarta, Jumat (16/8/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau hanya melulu ingin perbaiki neraca perdagangan ya sudah semua gas kita ekspor saja, tapi hasilnya apa kalau semua gas diekspor? pabrik pupuk tutup, pupuknya impor semua, pabrik petrokimia tutup karena bahan bakunya gas, akhirnya produk petrokimia kita impor, mau begitu?" jelas Djoko.
Tentu saja, menurutnya kondisi itu akan menyebabkan banyak lapangan kerja yang hilang, ditambah pembangunan jaringan gas (jargas) bisa terhenti karena tak punya pasokan gas.
"Kalau ekspor ada lapangan kerja nggak buat yang bangun pipa? ada nggak lapangan kerja orang gali-gali pipa untuk jargas? nganggur semua," sebutnya.
Untuk itu, pihaknya ingin agar dipahami bahwa migas ini tidak bisa serta-merta diekspor untuk menambal defisit. Pasalnya dalam negeri juga bergantung dengan komoditas tersebut.
"Kebijakan sektor kita bahwa energi itu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, untuk modal pembangunan. Nah ini kita lakukan konsisten," tambahnya.
(toy/zlf)